SAMARINDA, KabarSDGs – Masyarakat memainkan peran penting dalam melindungi dan melestarikan ekosistem mangrove, gambut, serta rawa dan riparian. Pelibatan aktif masyarakat menjadi kunci dalam pengelolaan lahan basah secara lestari di Kalimantan Timur.
Pada tanggal 11 Juli 2023, Sekretaris Daerah Provinsi Kalimantan Timur, Sri Wahyuni, menekankan pentingnya kerja partisipatif dan kolaboratif dalam pembukaan acara “Ekspose Pengelolaan Lahan Basah Berbasis Masyarakat di Kalimantan Timur” di Samarinda. Acara tesebut dihadiri oleh pembicara kunci dari Badan Restorasi Gambut dan Mangrove, serta narasumber yang mewakili Dewan Daerah Perubahan Iklim (DDPI), Yayasan Konservasi Alam Nusantara (YKAN), Yayasan Mangrove Lestari (YML), Yayasan Biosfer Manusia (Bioma), Yayasan Konservasi Khatulistiwa Indonesia (Yasiwa), dan Perisai Alam Borneo.
Sri menjelaskan, program mitra pembangunan dalam pengelolaan lahan basah di Kalimantan Timur membantu mencapai target penurunan emisi provinsi.
“Yang menjadi sorotan hari ini adalah menggabungkan program konservasi dengan pemberdayaan masyarakat. Partisipasi aktif masyarakat sangat penting, dan dampak program dapat langsung dirasakan oleh warga setempat,” ujarnya dalam siaran tertulisnya pada Selasa (12/01/2023).
Ia menjelaskan, ada empat wilayah pengelolaan lahan basah yang dibahas dalam acara ini, yaitu lahan gambut di Desa Muara Siran, mangrove di Kecamatan Anggana, mangrove di Kampung Semanting, serta rawa dan riparian di Mesangat-Suwi.
“Peran masyarakat menjadi kunci keberhasilan pengelolaan lahan basah yang lestari,” ujar Ketua Harian DDPI Kalimantan Timur, Profesor Daddy Ruhiyat.
Menurutnya, kolaborasi antara masyarakat, mitra pembangunan, pemerintah daerah, dan dunia usaha terlihat dalam setiap pengelolaan lahan basah yang ditampilkan dalam acara ini. Ia menyebutnya sebagai model-model pengelolaan sumber daya alam yang berkelanjutan di Kalimantan Timur.
“Program pengelolaan lahan basah ini didasarkan pada Kesepakatan Pembangunan Hijau atau Green Growth Compact (GGC). GGC adalah upaya kolaboratif yang melibatkan berbagai pihak, termasuk pemerintah, swasta, lembaga nonpemerintah, perguruan tinggi, masyarakat adat, dan masyarakat sipil, untuk mempercepat pencapaian tujuan Kalimantan Timur Hijau,” ungkap Prof Daddy.
Menurutnya, sejak dideklarasikan pada tahun 2016, GGC telah menghasilkan 13 inisiatif model pengelolaan sumber daya alam berbasis lanskap. Tiga di antaranya terkait dengan pengelolaan lahan basah, yaitu Kemitraan Pengelolaan Delta Mahakam, Kemitraan Perlindungan Lahan Basah Mesangat-Suwi, dan Pengelolaan Kolaboratif Ekosistem Gambut Muara Siran.
“Selain itu, terdapat inisiatif model lainnya, yaitu Program Karbon Hutan Berau, yang juga mengelola mangrove di Kampung Teluk Semanting, Kabupaten Berau. Setiap ekosistem dalam keempat inisiatif model tersebut memiliki karakteristik dan tantangan sendiri,” jelas Prof Daddy.
Yayasan Mangrove Lestari menjadi mitra dalam pengelolaan ekosistem mangrove di lanskap Delta Mahakam, Kabupaten Kutai Kartanegara, yang mengalami kerusakan akibat pembukaan lahan. Di Mesangat-Suwi, Kabupaten Kutai Timur, Yayasan Ulin dan Yasiwa berkolaborasi dalam pengelolaan ekosistem dengan spesies endemik buaya badas hitam (Crocodylus siamensis). Di Muara Siran, Yayasan Bioma mendampingi masyarakat yang tinggal di sekitar daerah gambut. Sedangkan Perisai Alam Borneo mendampingi masyarakat dalam pengelolaan ekosistem mangrove di Kampung Teluk Semanting.
Manajer Senior Pembangunan Hijau YKAN, Alfan Subekti mnerangkan, YKAN melalui strategi Kerangka Mitigasi Perubahan Iklim, mendukung pengelolaan lahan basah berbasis masyarakat yang mengintegrasikan kebutuhan ekologi dan kesejahteraan warga. Bersama dengan DDPI, YKAN melakukan koordinasi, fasilitasi, dan peningkatan kapasitas mitra pembangunan yang terlibat langsung dalam pengelolaan lahan basah, seperti YML, Yasiwa, Yayasan Bioma, dan Perisai Alam Borneo.
“Keempat mitra pembangunan ini mendorong pendekatan pengelolaan lahan basah yang melibatkan partisipasi perlindungan, sambil meningkatkan perekonomian alternatif masyarakat. Misalnya, budidaya sarang burung walet di Muara Siran membuat masyarakat setempat lebih peduli terhadap ekosistem gambut. Kami menyadari bahwa kerusakan lahan gambut akan mengurangi produksi sarang burung walet,” ujarnya.
Di Delta Mahakam, lanjut Alfan, perempuan didampingi dalam mengolah hasil perikanan, sambil tetap melindungi ekosistem mangrove yang penting untuk menjaga hasil tangkapan ikan. Di Teluk Semanting, warga setempat mengembangkan kampung mereka sebagai destinasi wisata mangrove, di mana pengunjung dapat berkemah dan melihat bekantan secara langsung.
“Peningkatan perekonomian alternatif secara bertahap meningkatkan kesadaran bahwa lingkungan yang dijaga oleh warga juga dapat menghasilkan. Apa yang dilakukan Kalimantan Timur saat ini mungkin belum ideal, tetapi setidaknya dengan komitmen dan kolaborasi, lahan basah dapat tetap lestari,” pungkasnya.












Discussion about this post