BANDUNG, KabarSDGs – Plastik merupakan salah satu material yang memiliki kekuatan dan fleksibilitas. Oleh karena itu, banyak perangkat yang digunakan saat ini terbuat dari plastik. Sayangnya, sampah plastik menjadi penyumbang terbesar dalam total 5.300 juta ton sampah yang dibuang di tempat pembuangan akhir atau di lingkungan alam di bumi.
Sampah plastik dari daratan seringkali berakhir di lautan, dengan jumlah limbah plastik sebesar 12 juta ton yang masuk ke laut setiap tahun. Jika tren ini berlanjut, diprediksi bahwa pada tahun 2050 akan ada lebih banyak plastik daripada ikan di lautan dunia.
Dalam acara Plastic Waste Education yang diadakan oleh PT Pertamina pada Rabu (7/6), Dwi Amanda Utami, peneliti Muda dari Pusat Riset Iklim dan Atmosfer pada Kelompok Riset Iklim dan Lingkungan Masa Lampau BRIN, menyampaikan hal tersebut.
“Sebagian besar limbah plastik yang mencemari lautan berupa mikroplastik,” ungkapnya.
Mikroplastik adalah partikel plastik dengan ukuran kurang dari 5 milimeter. Contohnya termasuk resin pelet dan microbeads. Menurut Dwi, mikrobeads primer biasanya ditemukan dalam produk perawatan pribadi, cat, dan bahan pembersih.
“Selain itu, ada juga mikroplastik sekunder yang terbentuk dari pecahan-pecahan limbah plastik yang lebih besar setelah mengalami fotodegradasi. Penggunaan plastik sekali pakai merupakan penyebab utama terbentuknya mikroplastik,” jelasnya.
Dwi meneruskan, mikroplastik ini membawa bahaya bagi biota laut. Ukurannya yang sangat kecil membuatnya tersebar di mana-mana, mulai dari perairan tropis hingga Arktik, dari pantai hingga laut dalam.
“Beberapa penelitian telah menemukan mikroplastik di Indonesia, baik di dalam perut ikan, perairan laut, sedimen sungai, estuari, maupun di lingkungan terumbu karang,” bebernya.
Menurut Dwi, mikroplastik dapat menjadi racun jika dikonsumsi oleh biota laut. Ia menekankan, mikroplastik telah ditemukan di dalam perut plankton dan bahkan ikan paus. Jika mamalia ini menelan mikroplastik, dapat merusak organ pencernaan, mengurangi cadangan energi, mengganggu sistem reproduksi, dan pada akhirnya menyebabkan kematian.
“Mikroplastik telah ditemukan pada makanan dan minuman. Beberapa penelitian di berbagai negara menemukan adanya mikroplastik dalam bir, madu, makanan kaleng, gula, dan garam. Mikroplastik memiliki potensi bahaya bagi kesehatan,” ungkapnya.
Menurut Dwi, penelitian menunjukkan bahwa mikroplastik mengandung zat tambahan yang berbahaya bagi kesehatan. Selain itu, plastik dapat menyerap bahan kimia berbahaya yang terlarut dalam air. Semakin kecil ukuran partikel plastik, semakin efisien mereka dalam mengakumulasi racun.
Dwi juga menerangkan, pemerintah telah melakukan berbagai langkah untuk mengatasi masalah peningkatan limbah plastik di Indonesia. Upaya tersebut meliputi mengubah perilaku dalam memilah sampah, mengurangi sampah di daratan dan pantai, meningkatkan regulasi, alokasi anggaran, serta melakukan riset dan pengembangan.
“Untuk mengurangi sampah plastik, kita dapat mengurangi penggunaan plastik sekali pakai, mendaur ulang limbah plastik, dan menggunakan kembali plastik yang telah digunakan. Jika memungkinkan, menggantikan penggunaan plastik dengan bahan lain yang lebih ramah lingkungan juga merupakan langkah yang dapat diambil,” pungkas Dwi.
Discussion about this post