Banda Aceh, Kabar SDGs – Wali Nanggroe Aceh, Paduka Yang Mulia (PYM) Teungku Malik Mahmud Al-Haythar, menegaskan bahwa dunia dapat belajar dari pengalaman perdamaian Aceh yang dibangun atas dasar kepercayaan dan dialog. Pesan itu ia sampaikan ketika menjadi pembicara dalam ASEAN For the Peoples Conference (AFPC) 2025 di Sultan Hotel & Residence, Jakarta, Ahad (5/10/2025).
Kepala Bagian Kerjasama dan Humas Wali Nanggroe, Zulfikar Idris, dalam keterangan tertulisnya pada Senin (6/10), menyebut konferensi tersebut diselenggarakan oleh Foreign Policy Community of Indonesia (FPCI) dan menjadi forum konsorsium organisasi masyarakat sipil terbesar di Asia Tenggara.
Dalam forum itu, Wali Nanggroe hadir bersama Staf Khusus Dr. Muhammad Raviq dan menjadi pembicara bersama sejumlah tokoh dari Asia Tenggara, seperti Amb. Nelson Santos, penasihat Presiden Timor-Leste; Imam (PCOL) Ebra M. Moxsir (Ret.), Presiden Dewan Imam Nasional Filipina; serta Debbie Stothard, pendiri organisasi HAM ALTSEAN Burma. Diskusi dipandu oleh jurnalis independen asal Malaysia, Amy Chew.
“Merupakan sebuah kehormatan sekaligus tanggung jawab yang mendalam bagi saya untuk hadir di forum ini, berbicara tentang rekonsiliasi, sebuah tema yang telah membentuk hidup saya, tanah kelahiran saya di Aceh, bahkan sebagian besar perjalanan Asia Tenggara,” ujar Wali Nanggroe.
Ia menuturkan bahwa rekonsiliasi bukan sekadar kata kunci politik, melainkan pengalaman hidup yang mengubah arah sejarah Aceh. Konflik bersenjata yang berlangsung lebih dari tiga dekade antara Pemerintah Republik Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) akhirnya mencapai titik balik pada 2005 melalui penandatanganan Perjanjian Damai Helsinki.
“Saat itu, duduk berhadapan dengan pihak yang dulu menjadi lawan, lalu menorehkan tanda tangan pada sebuah dokumen yang mengakhiri konflik panjang, adalah momen paling menentukan,” tuturnya.
Peristiwa itu, katanya lagi, menjadi bukti bahwa konflik yang paling keras sekalipun bisa diakhiri melalui dialog, kompromi, dan yang terpenting, kepercayaan.
Dalam kesempatan itu, Wali Nanggroe juga menyinggung ASEAN Way, pendekatan khas kawasan yang menekankan musyawarah, konsensus, dan penghormatan terhadap kedaulatan negara. “Dalam perdamaian Aceh, fasilitator internasional memang menyediakan ruang netral. Namun, penggerak utama perdamaian adalah tekad dan inisiatif kami sendiri sebagai bangsa Indonesia dan rakyat Aceh,” ujarnya.
Ia menegaskan bahwa rekonsiliasi tidak bisa dipaksakan dari luar, melainkan harus lahir dari kepemilikan lokal, dengan dukungan internasional yang bersifat melengkapi, bukan mendominasi.
Dalam pandangannya, pelajaran dari Aceh juga relevan bagi berbagai krisis yang masih membayangi Asia Tenggara, mulai dari konflik di Myanmar hingga sengketa perbatasan antarnegara. “Jika kita mengecualikan satu pihak, kita memperpanjang jurang ketidakpercayaan. Jika kita merangkul semua pihak, kita menanam benih rekonsiliasi,” sebutnya.
Wali Nanggroe menilai bahwa di tengah meningkatnya ketegangan global dan mandeknya proses perdamaian dunia, Asia Tenggara menawarkan model alternatif: pendekatan yang tulus dan berlandaskan martabat manusia, bukan dominasi geopolitik.
“Dunia bisa belajar dari Aceh, dari Mindanao, dari Timor-Leste, bahwa rekonsiliasi tetap mungkin, bahkan setelah puluhan tahun perang. Kuncinya bukan pada kekuatan militer, melainkan pada keberanian moral untuk mengubah kecurigaan menjadi kepercayaan, dan musuh menjadi mitra,” ujarnya.
Menutup pidatonya, Wali Nanggroe menegaskan bahwa rekonsiliasi adalah perjalanan panjang yang membutuhkan kesabaran dan kerendahan hati. “Ukuran sejati rekonsiliasi bukan pada tanda tangan di atas kertas, melainkan pada kehidupan yang bangkit kembali, anak-anak yang tumbuh tanpa rasa takut, dan harapan yang Asia Tenggara dapat persembahkan kepada dunia yang begitu merindukan perdamaian,” pungkasnya.












Discussion about this post