Jakarta, Kabar SDGs – Transisi menuju energi baru terbarukan (EBT) dihadapkan pada sejumlah hambatan, termasuk tingginya biaya, ketidakpastian dalam pasokan, serta keandalan dari sistem pembangkitan listrik.
Menanggapi tantangan tersebut, Prof Dr Eng Rony Seto Wibowo ST MT, Guru Besar ke-221 dari Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS), menyelidiki sistem optimisasi untuk meningkatkan efisiensi dan keandalan dalam sistem kelistrikan yang berbasis EBT.
Dalam presentasi ilmiahnya berjudul Mengawal Transisi Energi dengan Optimisasi, Rony menekankan bahwa pemanfaatan optimisasi dalam sistem tenaga listrik merupakan kunci untuk mencapai Net Zero Emission (NZE). Langkah ini sejalan dengan tujuan Sustainable Development Goals (SDG) yang berfokus pada energi bersih dan terjangkau di poin 7, serta mengenai penanganan perubahan iklim di poin 13.
“Upaya ini menjamin bahwa transisi energi berlangsung dengan lebih efisien tanpa mengorbankan keandalan pasokan listrik,” ungkap Rony dalam rilis yang diterima di Jakarta, Rabu (30/4/25).
Melalui risetnya, ia menciptakan metode baru untuk pengalokasian dan pengendalian dalam Flexible AC Transmission System (FACTS) yang digunakan dalam sistem tenaga listrik yang berbasis EBT.
Sebagai teknologi yang menggunakan elektronik daya, FACTS memiliki peran penting dalam mengatur aliran listrik dan menjaga stabilitas sistem, terutama pada jaringan yang bergantung pada EBT yang memiliki karakteristik tidak stabil.
“Strategi ini lebih efisien karena membantu menurunkan biaya operasional tahunan di sistem tenaga listrik,” tambahnya.
Untuk memastikan efektivitas dalam jangka panjang, dosen dari Departemen Teknik Elektro ITS ini memadukan analisis probabilitas gangguan dan simulasi skenario beban saat mengoperasikan FACTS.
Dengan pendekatan ini, FACTS bisa beradaptasi dengan perubahan daya dari sumber energi terbarukan, yang pada gilirannya meningkatkan keandalan keseluruhan sistem.
Selain itu, Rony juga mengeksplorasi metode optimisasi untuk microgrid, yang merupakan sistem kelistrikan kecil yang dapat beroperasi secara mandiri dengan memanfaatkan EBT dan baterai untuk menyimpan energi.
Ia menciptakan metode Dynamic Economic Dispatch (DED) untuk menghitung daya optimal yang perlu dihasilkan oleh masing-masing pembangkit agar kebutuhan listrik bisa tercukupi dengan biaya serendah mungkin.
Metode ini digabungkan dengan Quadratic Programming (QP) untuk menemukan solusi terbaik dalam pengalokasian daya pada microgrid.
Dia juga menguji beberapa skenario untuk memahami dampak cuaca dan penggunaan baterai terhadap total biaya produksi listrik. Temuannya menunjukkan bahwa variabel cuaca sangat mempengaruhi pembangkitan EBT, yang tergantung pada faktor seperti radiasi matahari, suhu, dan kecepatan angin.
Lebih lanjut, penelitian ini menunjukkan bahwa pemanfaatan baterai sebagai cadangan energi dapat mengurangi biaya operasional secara signifikan.
“Daripada bergantung pada generator diesel yang menggunakan bahan bakar fosil, penerapan baterai dapat menjadi alternatif yang lebih efisien dan ramah lingkungan,” jelas Rony.
Penelitian ini merupakan bagian dari kontribusi Rony sebagai guru besar di ITS dalam mendukung pengembangan energi bersih di Indonesia. Ia berharap inovasinya dapat membantu mendorong efisiensi dalam proses transisi energi nasional menuju NZE.
“Dengan penerapan optimisasi yang tepat, sistem tenaga EBT dapat menjadi lebih kompetitif,” tutupnya.
Discussion about this post