JAKARTA, KabarSDGs — Center for Indonesia’s Strategic Development Initiatives (CISDI) sangat menyayangkan adanya ‘malpraktik’ dalam uji klinis Vaksin Nusantara sehingga sangat tepat penghentian uji klinis adaptif fase I Vaksin Nusantara.
Uji klinik ini bermasalah karena tidak mengindahkan norma praktik kedokteran dan berbagai regulasi Pemerintah, di antaranya UU No.36/2019, UU No.8/1999, Permenkes Nomor 1990 Tahun 2010, Peraturan BPOM No.21/2015, Peraturan BPOM No.34/2018, Peraturan BPOM No.18/2020 sehingga berpotensi membahayakan keselamatan subjek uji klinis.
“Kesepakatan penghentian uji klinik untuk kandidat vaksin tertuang dalam Nota Kesepahaman antara Menteri Kesehatan RI, Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD) dan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) yang ditandatangani pada 19 April 2019,” jelas Chief Strategist CISDI, Yurdhina Meilissa dalam pernyataan resmi yang diterima KabarSDGs, kemarin,
Sementara itu, katanya, MoU yang sama membuka jalan penyelenggaraan penelitian berbasis pelayanan untuk menggunakan sel dendritik guna meningkatkan imunitas individu terhadap virus SARS-CoV-2 (personalised vaccine).
CISDI mendesak para pihak untuk menunda penyelenggaraan penelitian berbasis pelayanan sampai dapat dibuktikan keamanannya, sesuai amanat Permenkes No. 32 tahun 2018 tentang Penyelenggaraan Pelayanan Sel Punca dan/atau Sel.
CISDI juga meminta para pihak harus memberikan informasi penelitian yang dapat diakses oleh pasien dan masyarakat luas yang mencakup: (1) proposal penelitian, termasuk di dalamnya protokol penelitian; (2) ethical clearance; (3) persetujuan/rekomendasi komite Sel Punca dan Sel; (4) persetujuan dari kepala atau direktur rumah sakit; (5) sumber pendanaan, terutama jika melibatkan dana Pemerintah (APBN/APBD).
“Selain itu, persetujuan yang diberikan untuk penyelenggaraan penelitian berbasis pelayanan juga harus ditetapkan bersyarat (conditional approval) dengan kewajiban melaporkan penelitian secara periodik,” jelas Yurdhina.
Ketentuan-ketentuan di atas seharusnya dijelaskan dalam perjanjian yang mempunyai kekuatan hukum; lebih daripada sekadar sebuah nota kesepahaman, ujarnya.
Dia menilai perjanjian tersebut harus mengatur evaluasi lebih lanjut mengenai keamanan dan pembuktian efektivitas terapi sel dendritik sebagai vaksin untuk virus SARS COV-2, pembentukan tim pengawas independen yang berasal dari internal dan eksternal rumah sakit/TNI AD, manajemen risiko, dan mekanisme asuransi ganti kerugian (indemnity).
Yurdhina Meilissa, Chief Strategist CISDI, menekankan perlunya prinsip kehati-hatian dan transparansi dalam penyelenggaraan penelitian berbasis pelayanan ini.
“Nota Kesepahaman itu tidak semerta-merta menyelesaikan persoalan — dengan adanya nota kesepahaman ini, uji klinik untuk kandidat vaksin dialihkan menjadi penelitian berbasis pelayanan. Selain itu, prinsip etik dan protokol penelitian harus lolos ethical clearance dari komite etik,” tegasnya.
Begitu juga dengan Permenkes No.32/2018 yang menjadi rujukan ‘penelitian berbasis pelayanan’ menekankan pentingnya berpegang prinsip Cara Pembuatan Obat yang Baik (CPOB) dalam pengolahan sel dendritik, tidak dilanggar dalam proses penelitian vaksin ini.
CISDI meminta stakeholder yang berwenang agar transparan dan memastikan laporan progres dari penelitian Vaksin Nusantara tersedia dan dapat diakses oleh publik. Masih diperlukan waktu yang amat lama untuk membuktikan penggunaan metode sel dendritik untuk COVID-19 ini aman, efektif, dan efisien.
“Pemerintah seharusnya perlu waktu yang lebih panjang lagi untuk menyusun pedoman pelayanan terapi terstandar sebelum melakukan aplikasi klinis,” tegas Yurdhina.
Berpegang pada prinsip kesetaraan/equity, titik berat penanganan pandemi adalah perlindungan pada kelompok populasi rentan. Merujuk pada rekomendasi Scientific Advisory Group on Epidemiology (SAGE), prioritas pemberian vaksin adalah pada kelompok populasi yang membutuhkan bantuan negara untuk melindungi dirinya dari infeksi virus SARS COV-2.
Discussion about this post