BANDUNG, KabarSDGs – Museum merupakan tempat pengembangan budaya dan pembelajaran bagi seluruh masyarakat, termasuk bagi mereka yang memiliki difabilitas. Sayangnya, masih banyak museum di Indonesia yang belum ramah bagi pengunjung difabel, terutama mereka yang tunanetra. Oleh karena itu, tim dosen dari Fakultas Komunikasi dan Bisnis, Telkom University, mengadakan workshop dan sosialisasi dengan tema Aksesibilitas Informasi dan Pemberdayaan Tunanetra dalam Menciptakan Museum yang Ramah Bagi Difabel (21/6/2023).
Acara ini diawali dengan sambutan virtual dari Bunda Asuh Disabilitas Jawa Barat, Dr. Hj. Atalia Praratya, S.IP, M.I.Kom. Menurutnya, kehadiran teknologi assistive di museum merupakan solusi yang luar biasa, karena dapat membantu penyandang tunanetra mencapai kemandirian, akses informasi, dan kesempatan yang sama.
“Saya sangat mendukung dan mengapresiasi Universitas Telkom atas inisiatifnya. Saya berharap hal ini dapat memberikan akses yang adil bagi mereka yang hidup dengan keterbatasan penglihatan,” ujarnya dalam siaran tertulisnya.
Kegiatan ini dilaksanakan di Museum Konferensi Asia Afrika (KAA) Bandung dan dihadiri oleh Deddy Mulyana selaku Plt Kepala Museum, para edukator museum KAA, serta teman netra dari Yayasan Mata Hati Indonesia. Pada sesi pertama, narasumber dari Telkom University memberikan pelatihan komunikasi kepada edukator museum dalam berinteraksi dengan pengunjung tunanetra. Sesi kedua, teman-teman netra, perwakilan Museum KAA, dan dosen-dosen Telkom University duduk bersama untuk merumuskan solusi dalam menciptakan museum yang ramah bagi difabel.
“Ini adalah suatu bentuk penghormatan dan upaya pemenuhan hak bagi penyandang disabilitas dalam mengakses informasi. Saya berharap apa yang telah kita diskusikan dalam FGD (focus group discussion) dapat diimplementasikan, tentunya dengan melibatkan teman-teman difabel,” ujar Kepala Bidang Pengembangan Program Yayasan Mata Hati Indonesia, Dudi N. Rahimi.
Ia menerangkan, Museum Konferensi Asia Afrika sendiri sedang berusaha secara bertahap untuk menjadi museum yang ramah bagi difabel.
“Semoga setelah acara hari ini, Museum KAA dapat belajar lebih banyak lagi untuk membuat museum ini lebih inklusif dan memahami lebih baik kebutuhan difabel tunanetra,” imbuh Perwakilan edukator museum, Wisnu, .
Setelah kegiatan workshop, sosialisasi, dan FGD, teman-teman netra diajak berkeliling untuk menikmati saksi bisu berbagai peristiwa sejarah Konferensi Asia Afrika yang diadakan di Kota Bandung 68 tahun yang lalu. Acara semakin meriah dengan penampilan bakat dari teman-teman netra yang memiliki suara merdu, seperti Delia yang pernah berduet dengan Yura Yunita, dan juga Atep Sulaeman.
Para dosen dari program studi S1 Ilmu Komunikasi dan Digital Public Relations Telkom University berkomitmen untuk terus mengembangkan riset agar program pengabdian ini dapat berlangsung secara berkelanjutan demi tercapainya salah satu tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs), terutama dalam mempromosikan kesetaraan, pendidikan, komunitas berkelanjutan, dan kemitraan.
Discussion about this post