JAKARTA, KabarSDGs – Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), Letjen TNI Suharyanto mengungkapkan, perubahan iklim secara nyata telah meningkatkan potensi kejadian bencana. Dalam pidatonya pada Rapat Koordinasi Nasional Lembaga Penanggulangan Bencana dan Perubahan Iklim Nahdlatul Ulama (LPBI NU), Suharyanto menjelaskan, perubahan iklim meningkatkan frekuensi dan intensitas bencana dengan drastis.
“Data menunjukkan bahwa peningkatan suhu rata-rata global sejalan dengan peningkatan frekuensi kejadian bencana secara global sejak tahun 1961. Hal yang sama terjadi di Indonesia, di mana jumlah kejadian bencana alam meningkat sebesar 82% dari tahun 2010 hingga 2022,” ujarnya dalam siaran tertulisnya.
Suharyanto menerangkan, kenaikan suhu rata-rata global, baik secara nasional maupun global, berkontribusi pada peningkatan frekuensi kejadian bencana, terutama bencana hidrometeorologi.
Dalam lima bulan pertama tahun 2023, BNPB mencatat 1.675 kejadian bencana, yang sebagian besar adalah bencana hidrometeorologi. Lebih dari 99% kejadian tersebut terkait dengan bencana hidrometeorologi, dengan 92,5% adalah bencana hidrometeorologi basah dan 6,6% adalah bencana hidrometeorologi kering.
“Masalah utama yang menyebabkan bencana hidrometeorologi basah adalah urbanisasi yang menyebabkan kerusakan lingkungan dan alih fungsi lahan, yang mengurangi kapasitas daya serap air dan karbon dari hulu hingga hilir,” ungkap Suharyanto.
Ia menjelaskan, urbanisasi juga berkontribusi pada peningkatan emisi gas rumah kaca, seperti asap kendaraan dan pabrik, yang mengurangi kualitas udara. Menurutnya, alih fungsi lahan menyebabkan pengurangan vegetasi, yang mengurangi kemampuan alam dalam menyerap karbon dan meningkatkan risiko banjir dan longsor.
“Perubahan iklim juga berdampak pada peningkatan tinggi muka laut, yang menyebabkan peningkatan frekuensi banjir rob. BNPB mencatat peningkatan 46% dalam kejadian banjir rob dalam tiga tahun terakhir, dari 35 kejadian pada tahun 2020 menjadi 75 kejadian pada tahun 2022, yang diperparah oleh kerusakan ekosistem pesisir,” ungkap Suharyanto.
Ia melanjutkan, selain bencana hidrometeorologi basah, bencana hidrometeorologi kering juga mulai terjadi di beberapa wilayah di Indonesia.
“Kebakaran hutan meningkat dalam frekuensi, dan beberapa daerah telah menetapkan status siaga darurat,” ungkap Suharyanto.
Data dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan menunjukkan bahwa luas lahan yang terdampak kebakaran hutan, terutama lahan gambut, berhubungan langsung dengan emisi karbon yang dilepaskan. Contohnya, pada tahun 2019, 1,64 juta hektar lahan terbakar, melepaskan 624 juta ton emisi karbon ke udara.
Suharyanto juga mengimbau, seluruh masyarakat untuk bekerja sama dalam mengurangi dampak perubahan iklim. Ia mengajak semua elemen pentahelix untuk bertanggung jawab dalam memutus lingkaran proses ini dan mengurangi dampak perubahan iklim.
Dalam penutupannya, Suharyanto mengapresiasi keterlibatan berbagai elemen pentahelix dalam penanggulangan bencana. Dia menyatakan bahwa penanggulangan dampak perubahan iklim membutuhkan dukungan dari semua elemen bangsa, termasuk LPBI NU sebagai komunitas penanggulangan bencana.
“Nota kesepahaman antara BNPB dan LPBI NU juga ditandatangani untuk memperkuat kerjasama yang telah berjalan dengan baik,” pungkasnya.
Discussion about this post