Jakarta, Kabar SDGs – Dengan jutaan orang berpindah ke pusat-pusat kota besar setiap tahunnya, Asia Selatan mengalami tingkat pertumbuhan urban yang mencolok. Perkembangan ini membawa keuntungan ekonomi namun juga membawa tekanan terhadap lingkungan karena area perumahan menggantikan tempat tinggal yang alami. Kawasan ini, yang mencakup negara-negara seperti India, Pakistan, Bangladesh, Sri Lanka, Bhutan, Maladewa, dan Nepal, menghadapi tantangan yang kompleks dalam hal menjajaki harmoni antara pertumbuhan kota dan perlindungan lingkungan. Proses negosiasi ini sangat rumit, dengan kebutuhan untuk secara menyeluruh menganalisis aspek ekonomi, sosial, dan politik di masing-masing negara.
Pertumbuhan urban di Asia Selatan adalah fenomena yang beragam. Perpindahan dari wilayah pedesaan ke kota, yang menjadi motor utama urbanisasi, telah berkontribusi pada peningkatan peluang ekonomi, kecepatan industrialisasi, perbaikan kualitas hidup, perkembangan kota, serta investasi baik dari dalam negeri maupun luar negeri. Peningkatan jumlah penduduk telah memicu lonjakan aktivitas pembangunan. Namun, di balik keuntungan ini, terdapat dampak negatif dari pertumbuhan kota.
Di banyak pusat kota di Asia Selatan, kebutuhan akan perumahan dan infrastruktur melebihi kemampuan mereka untuk merencanakan dan mengelola pertumbuhannya. Kondisi ini terlihat dalam bentuk pembangunan dengan kepadatan yang rendah, meningkatnya ketergantungan pada kendaraan bermotor, dan perampasan secara bertahap terhadap ekosistem alam. Pertumbuhan kota adalah isu global; namun, banyak negara berkembang menghadapi kesulitan dalam menanganinya dengan cara yang efisien. Contohnya, di Pakistan, kebijakan terkait pembangunan kota tidak cukup kuat dan daerah perkotaan kerap tidak memiliki batasan yang jelas, yang menyebabkan ekspansi kota yang tidak teratur di sejumlah besar kota besar negara itu. Anehnya, sebagian besar dari perkembangan ini terjadi di atas lahan pertanian yang subur di pinggiran kota.
Di daerah metropolitan pesisir seperti Mumbai, India, proyek reklamasi lahan bertujuan untuk memperluas wilayah kota justru menyebabkan kerusakan lingkungan yang lebih parah. Proyek-proyek tersebut sering kali melibatkan pengeringan lahan basah dan hutan bakau, yang mengakibatkan hilangnya keanekaragaman hayati serta gangguan terhadap ekosistem dan fungsinya. Penghapusan penghalang alami di sepanjang garis pantai meningkatkan kerentanan wilayah pesisir dan penduduknya terhadap kenaikan permukaan laut.
Proyek Jalan Pantai Mumbai telah mendapatkan kritik karena dampak negatifnya terhadap kawasan pesisir kota. Gangguan pada sistem drainase alami berakibat pada peningkatan frekuensi banjir dan dampak dari peristiwa cuaca ekstrem, yang menciptakan ancaman bagi keselamatan manusia serta properti. Proyek ini juga memberikan dampak yang tidak seimbang kepada komunitas nelayan lokal, yang terpaksa meninggalkan mata pencaharian tradisional mereka dan mengalami penurunan dalam kualitas hidup.
Meskipun Bhutan memiliki jumlah penduduk yang relatif sedikit di Asia Selatan, negara ini telah mengalami penebangan hutan dan perubahan lahan pertanian dengan tujuan membangun lebih banyak hotel, gedung, dan kota. Penurunan lahan pertanian merugikan masyarakat Bhutan, karena pertanian menjadi sumber utama makanan, pendapatan, dan pekerjaan bagi mereka. Namun, hanya sedikit dari lahan yang tersedia di Bhutan yang dapat digunakan untuk perkembangan produktif, disebabkan oleh regulasi ketat yang mengatur ekstraksi sumber daya industri. Dengan meningkatnya urbanisasi, terdapat risiko terbatasnya lahan yang dapat menimbulkan masalah lain seperti sanitasi, pengelolaan limbah, dan akses terhadap air bersih.
Perkampungan Hijau di Asia Selatan
Era kemajuan dan urbanisasi di Asia Selatan jelas mengarah pada pertumbuhan yang tidak terkontrol. Misalnya, di kota-kota seperti Dhaka, Bangladesh, perkembangan urban sering kali lebih memprioritaskan kepentingan orang kaya, yang mengakibatkan adanya “kesenjangan hijau” di mana keuntungan dari pembangunan yang berkelanjutan tidak dirasakan oleh semua pihak. Di Delhi, India, gedung-gedung tinggi dan kompleks perumahan mewah sering kali dilengkapi dengan elemen “hijau”, tetapi pada umumnya hanya bermanfaat bagi orang-orang kaya, sementara sebagian besar penduduk menghadapi kesulitan untuk memperoleh kebutuhan mendasar seperti udara segar dan air bersih.
Menurut arsitek ternama Bangladesh, Muzharul Islam, perkembangan di Dhaka telah menjadi “berantakan, tidak efisien, dan kurang menarik secara visual”, yang lebih banyak menguntungkan kalangan elit, tercermin di kawasan seperti Gulshan dan Dhanmandi yang menunjukkan ketidakmerataan ini. Pembangunan yang bersifat eksklusif ini, yang didorong oleh motif keuntungan, mengabaikan kepentingan mayoritas penduduk. Situasi ini menekankan bahwa pembangunan berkelanjutan seharusnya bersifat inklusif dan adil.
Asia Selatan menghadapi dilema urbanisasi, yang mencoba menyeimbangkan pencapaian pembangunan yang adil dan ekonomis. Dengan semakin banyaknya populasi dan laju pertumbuhan kota-kota seperti Bengaluru, Dhaka, dan Kolombo, kini saatnya untuk beralih dari pola pertumbuhan yang mengutamakan keuntungan demi korporasi dan orang kaya. Pencapaian pembangunan berkelanjutan yang merata di kalangan seluruh masyarakat adalah tujuan yang mungkin dicapai, sekaligus bisa menjadi inspirasi bagi Asia Selatan untuk dicontoh oleh negara-negara lain di dunia.
Discussion about this post