CIBINONG, KabarSDGs – Ketahanan pangan, baik di tingkat global maupun nasional, menjadi isu yang penting bagi setiap negara. Pertumbuhan penduduk yang terus meningkat menuntut peningkatan produksi pangan dan peningkatan kualitas gizi. Salah satu potensi besar yang dimiliki oleh lahan hutan adalah kemampuannya untuk menyediakan bahan pangan, baik sebagai bahan pangan utama maupun bahan pangan alternatif.
Agroforestri merupakan salah satu skema yang dapat diterapkan untuk mengoptimalkan pemanfaatan lahan hutan guna mendukung pemenuhan kebutuhan pangan. Dalam konteks ini, agroforestri jati (Tectona grandis) dengan garut (Maranta arundinacea) memiliki prospek yang baik untuk dikembangkan.
Namun, penelitian mengenai optimalisasi pemanfaatan lahan hutan melalui pola agroforestri jati dengan garut sebagai tanaman pangan dan turunannya masih belum banyak dilakukan. Oleh karena itu, perlu dilakukan pengujian terhadap tingkat produktivitas, produksi metabolit sekunder, dan kontribusi terhadap peningkatan pendapatan petani dari model optimalisasi tersebut.
Sejalan dengan hal tersebut, Pusat Riset Ekologi dan Etnobiologi (PREE) Organisasi Hayati dan Lingkungan (ORHL) Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) telah melakukan kerja sama dengan Perusahaan Umum (Perum) Perhutani KPH Bogor. Kerja sama tersebut bertujuan untuk mengoptimalkan pemanfaatan lahan hutan melalui pola agroforestri jati – garut guna mendukung ketahanan pangan dan tujuan pembangunan berkelanjutan (SDGs). Penandatanganan kerja sama dilakukan di Kantor Perum Perhutani KPH Bogor pada Jumat, 16 Juni.
Kepala PREE, Anang Setiawan Achmadi menyatakan, umbi garut memiliki potensi untuk menjadi primadona, namun belum banyak dikenal secara luas oleh masyarakat karena belum dikelola secara profesional dalam konteks produksi tanaman.
“PREE BRIN berkeinginan untuk mengangkat potensi tersebut, dan kerja sama ini merupakan salah satu strategi untuk meningkatkan output penelitian. Dalam kerja sama ini, data-data yang dihasilkan akan diukur dengan menggunakan basis riset yang kuat,” ujarnya.
Selain itu, lanjut dia, kandungan metabolit sekunder dalam umbi garut juga menjadi fokus penelitian karena umbi garut merupakan salah satu pangan fungsional yang layak dikembangkan dalam mendukung ketahanan pangan sesuai dengan prioritas riset nasional.
“Uji coba yang dilakukan di lokasi dapat meningkatkan produksi. Penelitian yang dilakukan dari hulu ke hilir akan memberikan manfaat yang besar bagi masyarakat secara keseluruhan, bukan hanya untuk Perum Perhutani. Kerja sama ini juga membuka peluang untuk melibatkan mitra produksi lainnya,” ungkapnya.
Hal ini merupakan strategi untuk memperkuat kemandirian peneliti BRIN dan mengembangkan hasil-hasil riset yang dapat diukur dan komprehensif.
Ade Sugiharto, Administratur Kesatuan Pemangkuan Hutan (KPH) Bogor, Perum Perhutani, menyambut baik kerja sama ini. Ia menyatakan bahwa kerja sama selama dua tahun ke depan menjanjikan peningkatan produktivitas lahan dan pendapatan bagi KPH Bogor dan Perum Perhutani secara umum.
“Kami untuk bekerjasama dalam berbagai konteks dan berharap bahwa penelitian mengenai umbi garut akan menghasilkan bukan hanya dalam bentuk penelitian semata, tetapi juga penjualan produk,” ujarnya.
Dona Octavia, seorang peneliti di Pusat Riset Ekologi dan Etnobiologi (PREE) BRIN, menyatakan bahwa selama berlangsungnya kerja sama ini, mereka dapat memperkenalkan kepada masyarakat sumber daya alam pangan fungsional yang memiliki potensi besar namun belum banyak dikenal.
“Budidaya garut di bawah tegakan dalam praktik agroforestri dapat meningkatkan produktivitas lahan hutan dan hasilnya dapat digunakan untuk mendukung ketahanan pangan. Umbi garut memiliki manfaat kesehatan yang luar biasa, termasuk memiliki indeks glikemik rendah sehingga cocok untuk dikonsumsi oleh penderita diabetes,” ujarnya.
Ia menjelaskan, umbi garut juga mengandung asam folat yang tinggi, baik untuk ibu hamil, balita, serta individu yang sedang dalam masa pemulihan dari sakit. Umbi garut juga memiliki senyawa aktif metabolisme sekunder yang bermanfaat bagi kesehatan, seperti antioksidan.
“Selain itu, umbi garut juga memiliki potensi untuk mencegah stunting sehingga layak untuk dikembangkan di area pedesaan maupun perkotaan,” jelasnya.
Dona melanjutkan, di desa, masyarakat dapat menanam pohon umbi garut beberapa baris di halaman rumah. Jarak tanam yang umumnya digunakan adalah 30-50 cm, dan hasil olahannya dapat mencapai 10 ton per hektar dengan jarak tanam yang luas.
“Dalam penelitian sebelumnya, produksi umbi garut mencapai lebih dari 1,5 kg di area terbuka dan sekitar 1,3 kg per rumpun di bawah naungan. Umbi garut dapat dipanen pada usia 6-7 bulan untuk diolah menjadi emping garut yang aman bagi penderita asam urat,” ungkapnya.
Sedangkan untuk konsumsi langsung dengan cara merebus atau mengukus, lanjut Dona, umbi garut sudah dapat dipanen pada usia 3-4 bulan. Jika ditujukan untuk hasil pati, panen dapat dilakukan pada usia tanaman 9-10 bulan ketika kandungan patinya sudah optimal.
“Namun, hal ini bergantung pada kesuburan lahan, perawatan tanaman, dan kondisi lingkungan lainnya. Umbi garut sebagai pangan lokal layak dikembangkan untuk mendukung ketahanan pangan dan mencapai tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs), terutama tujuan 1 dan 2 dalam mengentaskan kemiskinan dan kelaparan,” pungkasnya.
Discussion about this post