BANDUNG, KabarSDGs – Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) sedang membangun Observatorium Nasional (Obnas) Timau di lereng Gunung Timau, Kabupaten Kupang, Nusa Tenggara Timur. Observatorium ini akan menjadi fasilitas pengamatan antariksa di Kawasan Timur Indonesia. Kondisi iklim di Pulau Timor memberikan kesempatan bagi para astronom untuk melakukan pengamatan setiap malam selama lebih dari setengah tahun.
“Pembangunan Obnas sampai saat ini masih dalam tahap penyelesaian. Teleskop 3,8 meter sedang dalam persiapan untuk proses instalasi. Cermin akan segera diproses untuk dikirim ke Kupang. Targetnya pada bulan Agustus sudah terpasang teleskopnya dan selanjutnya akan ada proses penyesuaian sistem dan pengujian teleskop yang memakan waktu beberapa bulan,” ungkap peneliti Pusat Riset Antariksa BRIN, Rhorom Priyatikanto.
Rhorom menjelaskan, teleskop optik 3,8 m memiliki desain yang unik dan bobot yang relatif ringan, sekitar 20 ton. Teleskop ini memiliki cermin primer, sekunder, dan tersier. Struktur ‘laba-laba’ menopang cermin sekunder di bagian atas teleskop.
“Salah satu instrumen pada teleskop 3,8 m yang dinamakan 3OPTIKA merupakan 3-bands imaging camera. Teleskop ini dapat digunakan untuk mengamati obyek seperti benda kecil tata surya, bintang, gugus bintang, extrasolar planet, galaksi, dan lainnya,” imbuh Rhorom.
Direncanakan pada tahun 2023 di triwulan ketiga dilakukan instalasi pada teleskop 3,8 meter. Pada triwulan keempat first light, yaitu teleskop mulai diarahkan ke bintang. Tahun 2024 akan dilakukan evaluasi persiapan penerimaan proposal pengamatan baik dari internal maupun eksternal BRIN.
“Peluang riset fotometri bisa dilakukan pada Obnas ini. Skema keterlibatan dari mitra bisa berupa visiting researcher, degree by research, master by research, post-doctoral fellow, atau kolaborasi riset berbasis pembiayaan eksternal,” ucap Rhorom.
Sementara itu, Kepala Pusat Riset Antariksa, Emanuel Sungging menyampaikan, salah satu upaya antisipasi gangguan polusi cahaya adalah menjadikan wilayah di sekitar Obnas menjadi Taman Langit Gelap (Dark Sky Park).
“Langit gelap perlu dilestarikan dengan didukung masyarakat yang turut menjaganya melalui wisata astronomi di Taman Langit Gelap. Pengaturan penggunaan lampu luar di sekitar Obnas dikoordinasikan dengan pemerintah daerah dan pemerintah pusat berupa peraturan perundang-undangan,” tuturnya.
Emanuel melanjutkan, untuk strategi pencegahan polusi cahaya perlu juga kolaborasi riset dengan bidang-bidang non-eksak untuk bisa mendorong adanya payung regulasi hukum yang bisa melindungi wilayah sekitar Obnas.
“Tidak hanya untuk bidang astronomi yang terkait teknis tetapi dengan bidang lain misalnya hukum dan sosial untuk berdiskusi bersama. Harapan kami wilayah Observatorium Nasional bisa menjadi wisata astronomi ke depannya,” ujar Emanuel.
Emanuel menambahkan, kolaborasi sudah bisa digarap dengan instansi eksternal.
“Ide-ide bisa disampaikan kepada Pusat Riset Antariksa. Riset dasarnya fotometri dan astrometri. Semangat berkolaborasi untuk riset dan inovasi,” pungkasnya.
Discussion about this post