Riau, Kabar SDGs — Di tengah hamparan hijau yang ada di area operasional PT Pertamina Hulu Rokan (PHR), sebuah narasi tentang harapan dan tantangan dalam konservasi terus berkembang. Ini bukan mengenai rig pengeboran atau volume minyak yang dihasilkan, melainkan tentang keberadaan penghuni hutan: Lutung Kokah (Presbytis femoralis).
Primata endemik dari Sumatra ini, dengan wajah hitam dan bulu perak yang mencolok, dulunya bebas melompat antara dahan di hutan Riau. Namun, waktu terus berlalu, dan daerah tersebut pun mengalami transformasi. Wilayah hutan yang menjadi tempat tinggal mereka kini tidak lagi seluas pada masa lalu.
Informasi terbaru mengenai hutan di sekitar areal PHR memberikan rincian yang cukup jelas. Berdasarkan data dari Rimba Satwa Foundation (RSF), mitra pelaksana program konservasi PHR, terdapat sekitar 20 lutung kokah yang tersisa di Hutan Talang, sementara Hutan Kojo memiliki jumlah yang sedikit lebih besar, yaitu 24 lutung.
Sekilas harapan terlihat di Taman Hutan Raya (Tahura) Minas, yang masih mendukung populasi yang signifikan dengan jumlah mencapai 139. Di samping itu, kawasan Giam Siak Kecil menjadi tempat tinggal bagi sekitar 90 ekor primata yang pemalu ini.
Keempat area, yaitu Hutan Talang, Hutan Kojo, Tahura, dan Giam Siak Kecil, menjadi kantong yang menyediakan habitat bagi lutung kokah di tengah aktifitas industri dan perubahan lingkungan. PHR menyadari tanggung jawabnya terhadap keberagaman hayati di area operasional dan tidak hanya diam.
“Upaya yang dilakukan PHR adalah bentuk komitmen untuk turut berkontribusi dalam memulihkan keseimbangan ekosistem, serta memastikan bahwa jejak lutung kokah tetap ada di tanah Riau untuk masa depan,” kata Iwan Ridwan Faizal, Manajer Community Involvement & Development (CID) PHR.
Iwan menjelaskan bahwa langkah-langkah konkret telah diambil untuk memulihkan habitat yang semakin menyusut. Di PT Kojo, ribuan bibit pohon telah ditanam sebagai investasi jangka panjang untuk menyediakan pakan dan ruang hidup bagi lutung kokah.
Sebanyak 2.000 bibit matoa, yang buahnya disukai oleh primata ini, serta 1.000 bibit jengkol ditanam dengan harapan pohon-pohon tersebut bisa tumbuh tinggi dan menjadi sumber pakan alami. Pucuk daun jengkol pun merupakan makanan bagi Lutung Kokah, dan pohonnya juga berfungsi sebagai tempat aktivitas mereka.
Langkah serupa dilakukan di Tahura, dengan penanaman 1.000 bibit matoa dan 500 bibit jengkol untuk mendukung upaya konservasi di kawasan yang kini menjadi rumah bagi populasi lutung kokah terbesar di area operasional PHR. Bahkan, upaya untuk memperluas habitat turut dilakukan di Pematang Pudu, dengan penanaman 500 bibit matoa.
“Langkah PHR bukan sekadar ceremonial. Ini adalah bukti komitmen untuk memulihkan keseimbangan ekosistem, serta untuk memastikan jejak lutung kokah tetap ada di tanah Riau di masa mendatang,” ungkap Iwan.
Namun, melakukan konservasi untuk lutung kokah tidak semudah menanam bibit. Ada tantangan besar yang harus dihadapi. Perubahan fungsi lahan menjadi ancaman nyata, yang mencabut habitat alami dan memisahkan populasi lutung kokah.
Hutan yang sebelumnya saling terhubung kini terpisah-pisah, menyulitkan pergerakan dan reproduksi di antara kelompok-kelompok. Selain itu, keterbatasan sumber makanan juga menjadi masalah serius. Ketika area hutan menyusut, pasokan makanan alami pun berkurang.
Upaya melestarikan lutung kokah adalah sebuah perjalanan panjang yang memerlukan kerjasama dari banyak pihak. Melalui program Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan (TJSL), PHR tidak hanya fokus pada penanaman pohon, tetapi juga berusaha meningkatkan kesadaran masyarakat tentang pentingnya melindungi primata tersebut. Edukasi, patroli hutan, dan tindakan untuk mengurangi konflik merupakan komponen vital dari strategi konservasi yang dilakukan.
Dengan populasi yang masih rentan, inisiatif konservasi perlu terus diperkuat. Setiap pohon yang ditanam membawa harapan baru. Setiap tingkat kesadaran yang terbentuk di masyarakat adalah sebuah kekuatan.
Masa depan lutung kokah di hutan hujan sangat bergantung pada dedikasi berbagai pihak saat ini, sebelum dicap sebagai terancam punah oleh The International Union for Conservation of Nature (IUCN).
Discussion about this post