BOGOR, KabarSDGs – Kepala Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG), Dwikorita Karnawati, secara resmi membuka acara Pelatihan Pelatih Sekolah Lapang Iklim (Climate Field School/SLI) atau ToT (Training of Trainers) yang diselenggarakan untuk negara-negara anggota Colombo Plan. Acara ini diadakan di Gedung Auditorium BMKG dan dihadiri oleh pejabat dari BMKG dan Kementerian Sekretariat Negara (Kemensesneg).
Kegiatan ini merupakan bagian dari program Kerja Sama Teknik Selatan-Selatan dan Triangular (KTSST) antara pemerintah Republik Indonesia, yaitu Kemensesneg dan BMKG, dengan Sekretariat Colombo Plan. Pelatihan ini akan berlangsung selama 7 hari di Regional Training Center (RTC) BMKG, Citeko – Bogor.
Dalam sambutannya, Dwikorita menyatakan bahwa perubahan iklim global adalah ancaman terbesar yang menakutkan bagi masyarakat dunia saat ini, lebih dari pandemi atau perang.
“Peningkatan suhu rata-rata global yang terus berlanjut mempercepat siklus hidrologi dan menyebabkan bencana hidrometeorologi seperti banjir dan longsor, terjadi di negara maju, negara berkembang, dan negara kepulauan tanpa memandang kondisi negara tersebut,” ungkapnya.
Dwikorita menyoroti, berbagai bencana ini berdampak pada titik air global atau “global water hotspot,” yang mengakibatkan krisis air. Krisis air ini juga menimbulkan tantangan bagi ketahanan pangan. Menurut organisasi meteorologi, pada tahun 2050 hampir semua wilayah di dunia akan menghadapi masalah ketahanan pangan. Oleh karena itu, mitigasi terhadap dampak perubahan iklim perlu dilakukan, dan petani perlu meningkatkan keterampilan dan pengetahuan mereka untuk beradaptasi dengan perubahan iklim.
“Dengan demikian, tujuan dari Sekolah Lapang Iklim (SLI) ini adalah memberdayakan petani dan sektor pertanian untuk beradaptasi dengan dampak perubahan iklim, menjaga produksi tanaman, dan mencegah tantangan terhadap ketahanan pangan. SLI menjadi wadah bagi kita untuk saling belajar, berbagi pengalaman, pembelajaran, dan kisah kegagalan guna mengurangi risiko dampak perubahan iklim. Dengan begitu, kita dapat mencegah krisis pangan,” jelas Dwikorita.
Peserta pelatihan ini terdiri dari para pengambil kebijakan, pengamat cuaca/iklim, dan penyuluh pertanian dari 8 negara anggota Colombo Plan dan Timor Leste. Total ada 19 peserta dari Bangladesh (3 orang), Bhutan (1 orang), Indonesia (4 orang), Myanmar (2 orang), Nepal (2 orang), Papua New Guinea (1 orang), Sri Lanka (2 orang), Filipina (2 orang), dan Timor Leste (2 orang).
Pelatihan ini mengusung tema “Pembelajaran pemahaman dan praktek informasi iklim untuk mendukung ketahanan pangan.” Metode pembelajarannya terdiri dari metode asynchronous, yang meliputi webinar, tugas individu, dan proyek kelompok kolaboratif di Learning Management System (LMS) BMKG berbasis Moodle pada tanggal 4-7 Juli 2023. Selain itu, juga dilakukan metode synchronous berupa pelatihan tatap muka di Jakarta dan Citeko pada tanggal 10-17 Juli 2023.
Dwikorita menuturkan, BMKG telah melaksanakan kegiatan Sekolah Lapang Iklim (SLI) bekerja sama dengan Kementerian Pertanian sejak tahun 2011. Kegiatan ini bertujuan untuk memberikan pengetahuan dan pemahaman tentang informasi iklim serta pemanfaatannya dalam sektor pertanian kepada penyuluh pertanian dan petani dengan bahasa yang lebih mudah dipahami oleh mereka di wilayah masing-masing.
“Keberhasilan SLI di Indonesia telah dijadikan sebagai contoh dan telah dilakukan TOT SLI untuk negara-negara Asia Pasifik, Timor Leste, dan Pakistan. Pelatihan ini merupakan tahap ketiga dari SLI setelah tahap pertama yang dilakukan secara tatap muka pada Juni 2019 di Pusdiklat BMKG, Citeko, Bogor, Jawa Barat, dan tahap kedua yang dilaksanakan secara daring pada Agustus 2021,” ungkapnya.
Ia menerrangkan, hasil yang diharapkan dari pelatihan ini adalah peserta (pelatih) dapat memahami dan mengembangkan pengetahuan tentang informasi iklim serta dapat menyampaikannya kembali kepada penyuluh pertanian dalam bahasa yang lebih sederhana dan mudah dipahami oleh petani.
“Para peserta diharapkan dapat menyusun rencana tindakan (action plan) untuk masing-masing negara selama mengikuti pelatihan dan dapat mengimplementasikannya setelah kembali ke negara masing-masing,” pungkas Dwikorita.
Discussion about this post