Aceh Besar, Kabar SDGs – Semangat kepahlawanan Cut Nyak Dhien dihadirkan kembali melalui pertunjukan monolog berjudul “Tubuh yang Tak Pernah Takluk” di Museum Rumoh Cut Nyak Dhien, Lampisang, Sabtu malam, 6 September 2025. Disutradarai Nazar Syah Alam, pementasan ini menggandeng seniman muda Aceh dan berhasil menarik perhatian publik, menjadikan rumah bersejarah sang pahlawan nasional sebagai ruang refleksi budaya dan perjuangan.
Pertunjukan menitikberatkan pada gerak tubuh sebagai medium menyampaikan trauma, keteguhan, dan perlawanan. Aktor utama, Zikrayanti, menghidupkan ruh perjuangan Cut Nyak Dhien melalui ekspresi fisik yang penuh intensitas. “Dengan monolog tubuh, pesan bisa hadir melalui gerakan yang ekspresif, menghadirkan intensitas emosional, dan membuka ruang interpretasi yang lebih luas bagi penonton,” jelas Zikrayanti pada Ahad, 7 September. Ia menambahkan tampil di rumah Cut Nyak Dhien adalah impiannya sejak tiga tahun lalu yang akhirnya terwujud.
Sutradara Nazar Syah Alam menilai karya ini penting sebagai representasi perempuan Aceh. Ia mengaku terkesan dengan sambutan publik yang memadati ruang pertunjukan. “Ini di atas ekspektasi kita. Keren sekali. Kita merasa bahwa Cut Nyak hari ini masih milik orang Aceh,” kata Nazar. Ia menegaskan bahwa monolog ini tidak hanya sebuah karya seni, melainkan juga ruang refleksi tentang keberanian dan keteguhan yang diwariskan. “Setiap perempuan di Aceh adalah Cut Nyak yang berjuang dalam ruang dan cara masing-masing,” ujarnya.
Pertunjukan ini mendapatkan dukungan dari Kementerian Kebudayaan RI melalui Direktorat Perlindungan Kebudayaan dan Tradisi, Balai Pelestarian Kebudayaan (BPK) Wilayah 1, serta kolaborasi komunitas seni dan literasi Aceh seperti Studiosa, Sisi Buku, dan Teater Rongsokan. Perwakilan BPK Wilayah 1, Zahrina, mengapresiasi pementasan tersebut. “Kita patut bangga sebagai orang Aceh yang memiliki peradaban besar. Melalui monolog ini, semangat Cut Nyak Dhien dihidupkan kembali sebagai simbol perjuangan perempuan Aceh masa kini,” katanya.
Pengalaman spiritual turut dirasakan penonton, salah satunya Sarah, seniman muda yang hadir dalam pertunjukan itu. “Ekspresinya bukan hanya dirasakan oleh aktor, tetapi juga saya sebagai penonton,” ujarnya setelah mengikuti prosesi yang diawali dengan ritual kemenyan.
“Tubuh yang Tak Pernah Takluk” menjadi penegasan bahwa kesenian adalah milik bersama. Dari ruang sederhana, lahir karya yang mampu menyulam kembali tradisi, peradaban, dan perjuangan. Zikrayanti menutup dengan keyakinan bahwa kepedulian masyarakat Aceh terhadap seni masih kuat, dan semangat itu tidak akan pernah padam, sebagaimana tubuh itu tidak pernah takluk.
Discussion about this post