Surabaya, KabarSDGs – Kementerian Ekonomi Kreatif/Badan Ekonomi Kreatif (Ekraf) mendorong pemanfaatan Artificial Intelligence (AI) untuk memperkuat gig economy yang kini menjadi tulang punggung bagi lebih dari 60 persen generasi muda.
Langkah ini diambil menyikapi potensi pasar AI Indonesia yang diproyeksikan melonjak dari 1,77 miliar dolar AS pada 2023 menjadi 10,89 miliar dolar pada 2030, meski tingkat adopsi dan talentanya masih rendah.
“Lebih dari 60 persen generasi Milenial dan Gen Z bekerja secara fleksibel sebagai freelancer, kreator digital, dan pegiat ekonomi kreatif berbasis proyek. Ini adalah wajah baru dunia kerja, yaitu gig economy, yang memberi ruang besar bagi kreativitas, kolaborasi, dan kemandirian,” kata Direktur Teknologi Digital Baru Kementerian Ekraf Dandy Yudha Feryawan menghadiri Industrial Relations Conference ke-11 bertajuk “Menavigasi Dinamika Baru Hubungan Industrial di Era AI dan Ketahanan Industri” yang digelar oleh Apindo Training Center (ATC) di Hotel Platinum Surabaya, Selasa, 4 November 2025.
Dandy menyoroti potensi besar industri AI di Indonesia yang belum dimanfaatkan secara optimal.
Ia menegaskan bahwa pemerintah, termasuk Kementerian Ekraf, memiliki tanggung jawab untuk memperkuat literasi digital, reskilling, dan kebijakan adaptif agar pekerja kreatif mampu memanfaatkan teknologi tanpa kehilangan perlindungan sosial.
“Nilai pasar AI kita mencapai 1,77 miliar dolar AS di 2023 dan diproyeksikan melonjak menjadi 10,89 miliar dolar AS pada 2030. Tetapi adopsi AI korporasi baru 23 persen, dan talenta AI kita masih 1,06 persen. Ini peluang besar, tetapi juga PR besar,” ujar Dandy.
Konferensi yang melibatkan pemerintah, dunia usaha, akademisi, dan pegiat kreatif ini membahas pelatihan tenaga kerja, desentralisasi industri, serta peningkatan kualitas tenaga kerja untuk menjaga keseimbangan antara efisiensi teknologi dan pemerataan ekonomi.
Ketua Umum DPN Apindo Shinta Widjaja Kamdani menegaskan bahwa industri dan tenaga kerja harus beradaptasi cepat menghadapi digitalisasi.
“Dengan otomatisasi dan digitalisasi, dunia kerja sudah berubah. Jenis pekerjaan bergeser, begitu pula keterampilan yang dibutuhkan. Literasi digital kini menjadi hal yang sangat penting,” ujar Shinta.
Sementara itu, Menteri Ketenagakerjaan Yassierli menegaskan bahwa digitalisasi dan AI menuntut perubahan cara pandang terhadap hubungan industrial.
Menurut Yassierli, kunci transformasi tersebut hanya dapat terwujud bila pekerja, serikat buruh, dan manajemen perusahaan memiliki pemahaman yang sama: produktivitas.
“Ketika membicarakan hubungan industrial, kita sering berhenti pada konsep harmonis. Padahal kita membutuhkan sesuatu yang melampaui harmonis, yakni hubungan industrial yang transformatif. Kata kuncinya adalah produktivitas. Jika perusahaan dan serikat pekerja sama-sama memahami itu, maka banyak persoalan akan lebih mudah diselesaikan,” tegas Menteri Ketenagakerjaan Yassierli.
Dalam kesempatan yang sama, Sekretaris Kemenko Perekonomian Susiwijono Moegiarso menegaskan bahwa pemerintah tengah menyempurnakan kebijakan ketenagakerjaan dan ekonomi digital untuk menghadapi dampak AI dan otomasi.
Ia menekankan bahwa pemerintah akan mengawal transformasi digital industri agar tetap inklusif dan berkeadilan, termasuk dalam penyusunan kebijakan hubungan industrial masa depan.
“AI harus berpusat pada manusia. Teknologi harus membawa manfaat, menjunjung etika, keadilan, dan kesejahteraan,” ujarnya.












Discussion about this post