JAKARTA, KabarSDGs — Pada era digital saat ini, masyarakat memiliki banyak alternatif untuk mengakses konten film, terutama yang berbasis pada jaringan informatika, baik berupa layanan Over The Top (OTT) maupun Video on Demand (VoD). Namun, kenyataannya belum semua film yang berbasis internet ditayangkan melalui proses penyensoran.
Oleh karena itu, menjadi suatu keharusan bagi Lembaga Sensor Film (LSF) untuk membangun kesadaran kolektif masyarakat agar secara mandiri dapat memilah dan memilih tontonan sesuai dengan penggolongan usia. Atas dasar itulah, LSF mengedepankan program Budaya Sensor Mandiri (BSM).
“LSF mengajak seluruh komponen bangsa untuk menyebarkan informasi sekaligus memberikan literasi kepada masyarakat agar mampu memilah dan memilih tontonan sesuai klasifikasi usia. Targetnya, program ini dapat menjadi Gerakan Nasional Budaya Sensor Mandiri dan salah satu persiapannya adalah dengan membentuk Desa Sensor Mandiri,” jelas Ketua LSF, Rommy Fibri Hardiyanto pada peluncuran awal (soft launching) Laman LSF yang baru dan lagu tema (Jingle) Budaya Sensor Mandiri, Kamis (11/2/2021).
Menurutnya, LSF harus berada di antara masyarakat untuk memberikan advokasi dan pendampingan agar masyarakat dapat memilah dan memilih film sesuai dengan klasifikasi usianya. LSF di era milenial ini perlu mengubah posisi, yang semula menjadi penghalang antara layar dan masyarakat, kini harus berada di antara masyarakat untuk memberikan literasi tentang film.
LSF bekerja sama dengan Piyu Padi dalam pembuatan lagu tema atau jingle tersebut, yang diharapkan dapat mengajak masyarakat untuk selalu menonton film sesuai dengan klasifikasi usianya.
Selain itu, LSF juga memperkenalkan desain dan wajah baru laman LSF yang kekinian, tetapi rencananya wajah baru laman LSF secara lengkap akan dapat dinikmati pada akhir Maret mendatang sekaligus menyambut Hari Film Nasional.
Pandemi Covid-19 tidak membuat semangat LSF kendur. Kepengurusan Lembaga Sensor Film (LSF) periode 2020–2024 langsung bekerja dengan membawa visi membangun LSF yang independen, akuntabel, kredibel, dan profesional. Selama kurun waktu delapan bulan (Mei–Desember 2020), serangkaian program telah terlaksana dengan baik.
Program dan kegiatan LSF, jelasnya, dijalankan melalui tiga komisi, yakni Komisi I (bertanggung jawab pada bidang Penyensoran, Dialog, Apresiasi dan Promosi, Media Baru, Data, Pelaporan dan Publikasi), Komisi II (Pemantauan, Hukum dan Advokasi), Komisi III (Sosialisasi, Kemitraan, Penelitian dan Pengkajian).
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 33/2009 tentang Perfilman, tugas utama LSF adalah melakukan penyensoran film dan iklan film. Sepanjang tahun 2020, LSF telah menyensor 39.863 (Tiga Puluh Sembilan Ribu Delapan Ratus Enam Puluh Tiga) film dan iklan film.
Jumlah tersebut meliputi jenis film untuk layar lebar (bioskop), televisi, palwa (penjualan dan penyewaan melalui keping cakram/DVD), jaringan informatika, sarana promosi, festival, kalangan terbatas, dan ajang tertentu. Dari total keseluruhan, mayoritas sensor film adalah untuk televisi, yakni 95,99 persen. Adapun film layar lebar hanya 1,40 persen dan sisanya untuk jaringan informatika.
Saat ini, LSF juga telah mengembangkan sistem informasi publik yang sangat mudah diakses. LSF sudah memiliki beberapa platform media sosial, yaitu Instagram (@lsf_ri), Twitter (@lsf_ri), Facebook (lembagasensor.RI), laman www.lsf.go.id, dan kanal YouTube (Lembaga Sensor RI). Bahkan, ada pula TikTok yang terkenal bersifat hiburan dengan segala bentuk video singkat yang dikemas untuk menarik perhatian kalangan milenial.
Discussion about this post