JAKARTA, KabarSDGs – Salah satu tanda pesatnya perkembangan teknologi generasi 4.0 dengan kehadiran sistem kecerdasan buatan (artificial intelligence/AI), yang menimbulkan kekhawatiran di berbagai bidang. Di pasar tenaga kerja misalnya, ada kekhawatiran industri 4.0 akan menurunkan bahkan menghilangkan permintaan beberapa jenis pekerjaan karena tergantikan oleh mesin maupun AI.
Dalam kajian terbaru Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia menyatakan, ada potensi 23 juta orang terancam kehilangan pekerjaan pada 2030 sebagai dampak dari perkembangan teknologi dan digitalisasi. Dalam kajian Kadin, karakteristik pekerjaan yang terancam di di antaranya pekerjaan yang terstandarisasi, dapat dilakukan dengan bantuan teknologi, tingkat risiko kecelakaan kerja tinggi, serta pekerjaan yang kurang fleksibel.
Dekan Sekolah STEM Universitas Prasetiya Mulya, Dr. Stevanus Wisnu Wijaya mengatakan, kondisi ini perlu disikapi dengan adanya upaya pengembangan keterampilan serta kompetensi baru agar pekerja dapat mengikuti perkembangan zaman. Karena itulah, sektor pendidikan memiliki peran penting dalam menyiapkan generasi yang mampu mengikuti perkembangan teknologi dan kebutuhan zaman. Di sisi lain, bidang pendidikan juga menghadapi ancaman dengan adanya kehadiran kecerdasan buatan.
“Ada kekhawatiran, pada suatu saat nanti, kecerdasan buatan akan menggantikan peran guru atau dosen. Namun, kekhawatiran itu bisa disikapi secara positif. Kehadiran AI jangan dilihat sebagai sebuah ancaman, justru sebagai sebuah kesempatan untuk mendukung proses pendidikan,” ujarnya dalam acara Teachers Gathering 2023 yang diadakan Universitas Prasetiya Mulya (Prasmul) di Hotel The Westin Jakarta.
Wisnu menjelaskan, salah satu manfaat kecerdasan buatan dalam dunia pendidikan adalah dengan menjadikan AI sebagai sumber pengetahuan untuk membangun inovasi baru. Jika dimanfaatkan dengan baik, ia melanjutkan, AI bisa menghadirkan pengalaman belajar yang lebih baik dan menarik bagi siswa.
“Dengan demikian, para siswa akan terdorong untuk menjadi lebih kreatif yang pada akhirnya bisa turut berperan dalam perkembangan teknologi itu sendiri, dengan menjadi co-creator dan inovator teknologi-teknologi baru,” ungkapnya.
Sementara itu, Dekan Sekolah Hukum dan Studi Internasional sekaligus Kepala Pusat Studi Kebangsaan Prasmul, Dr. Noer Hassan Wirajuda menambahkan, para pendidik juga harus peka dalam melihat tren dalam proses pembelajaran. Baru-baru ini, Pusat Studi Kebangsaaan Indonesia Universitas Prasetiya Mulya melakukan survei terhadap 1.600 mahasiswa dari seluruh Indonesia untuk mengetahui cara belajar dan bagaimana mereka mendapatkan pengetahuan.
“Dari survei itu terungkap, para siswa belajar melalui internet dan media sosial. Sisanya, sebanyak 26 persen menjawab belajar dari kelas, dan 16 persen lainnya belajar dari buku,” ujar Hassan.
Menurutnya, hasil survei tersebut memperlihatkan tren baru yang bisa menjadi tantangan sekaligus peluang bagi pendidik. Karena survei tersebut juga menunjukkan para anak didik menginginkan proses pembelajaran yang lebih interaktif.
Menurut Hassan, para pendidik, guru maupun dosen, harus siap menghadapi perubahan tersebut dan menangkap keinginan para anak didiknya.
“Guru perlu mengembangkan metode baru dalam pembelajaran yang lebih interaktif, tanpa mengurangi kualitas muatan ilmu yang disampaikan. Sebagai contoh, para pendidik bisa memanfaatkan media sosial, kecerdasan buatan, sampai teknologi metamesta (metaverse) untuk memberikan materi pendidikan secara multimedia, sehingga proses belajar para siswa menjadi lebih menarik,” jelasnya.
Sementara itu, Ketua Yayasan Guru Belajar Bukik Setiawan, menekankan pentingnya penguatan pengembangan keahlian dan kemampuan guru. Saat ini, kata Bukik, kapasitas program pengembangan guru sangat kecil sehingga berjalan lamban.
“Setiap tahun, pemerintah hanya menyediakan ruang pengembangan kapasitas untuk 300 ribu guru, tidak sebanding dengan kebutuhannya. Maka tak heran jika banyak pendidik yang merasa kesulitan mengikuti perubahan,” ujarnya.
Menurut Bukik, pada kenyataannya, saat ini di Indonesia perubahan kurikulum terhitung lamban.
“Idealnya revisi atau penyesuaian kurikulum itu dilakukan setiap tahun, berdasarkan hasil evaluasi. Terlebih dengan pesatnya perkembangan teknologi seperti sekarang.” Namun, ia menambahkan, perubahan kurikulum per lima tahun saja sudah terasa terlalu cepat, karena pengembangan kapasitas gurunya yang juga berjalan lamban. “Para pendidik jadi terkesan kewalahan mengikuti perkembangan zaman,” ungkapnya.
Menurut Bukik, salah satu solusi yang bisa dilakukan untuk mengatasi persoalan itu, kata Bukik, bisa dimulai dari institusi pendidikan.
“Caranya dengan menambah anggaran dan memprioritaskan program pengembangan kapasitas dan kemampuan guru. Saat ini rata-rata setiap sekolah di Indonesia hanya menganggarkan bujet sebesar 0-2 persen dari total anggaran sekolah untuk kebutuhan pengembangan guru,” jelasnya.
Menurutnya, kebanyakan institusi pendidikan masih memprioritaskan anggaran mereka untuk pembangunan fasilitas dan prasarana. Padahal, lanjutnya, pengembangan kapasitas guru sangat penting.
“Idealnya institusi pendidikan menyiapkan minimal 20 persen anggarannya untuk kebutuhan pengembangan guru. Kita perlu mendorong para pendidik untuk maju dan berkembang,” pungkas Bukik.
Discussion about this post