JAKARTA, KabarSDGs – Potensi pengembangan bisnis obat herbal di Indonesia masih terbuka lebar, diantaranya dengan adanya kebiasaan konsumsi jamu masyarakat Indonesia.
Data riset kesehatan pada tahun 2018 menunjukkan 48 persen masyarakat mempunyai kebiasaan menggunakan pelayanan kesehatan tradisional dalam upaya kesehatan, salah satunya dengan mengkonsumsi jamu.
“Hal ini menunjukkan bahwa budaya minum jamu sudah merupakan tradisi leluhur bangsa yang perlu dilestarikan dan dikembangkan,” kata Kepala Organisasi Riset Kesehatan (ORK) Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), NLP Indi Dharmayanti pada webinar memperingati Hari Kebangkitan Teknologi Nasional (HAKTEKNAS) ke-27, bertajuk ‘Saintifikasi Jamu: Mengungkap Warisan Budaya untuk Menyehatkan Bangsa’ yang dihelat pada Jumat (19/8).
Indi menjelaskan, peluang HAKTEKNAS ke-27 dapat menjadi momentum untuk mendorong kebangkitan industri herbal berbasis inovasi hasil implementasi teknologi terkini.
Menurutnya, untuk menghasilkan produk yang semakin aman, bermutu dan berkhasiat, tentunya untuk menghasilkan produk herbal tersebut dibutuhkan landasan riset yang kuat dari segala aspek, di bagian hulu perlu di dorong riset dalam rangka penyediaan bahan baku yang cukup, bermutu dan berkelanjutan.
Ia melanjutkan, dengan terbitnya Keputusan Menteri Kesehatan tentang formularium fitofarmaka, maka penggunaan fitofarmaka dalam pelayanan kesehatan formal yang akan masuk ke dalam skema pembiayaan Jaminan Kesehatan Nasional (JKN).
“Momentum ini menjadi penting untuk direspon melalui intensifikasi riset pengembangan fitofarmaka guna menyediakan lebih banyak pilihan fitofarmaka yang masuk keformulatorium nasional,” tegas Indi.
Ia meneruskan, riset tersebut dapat dimulai dengan pemetaan penggunaan jamu, Obat Herbal Terstandar (OHT) dan fitofarmaka di sarana fasilitas pelayanan kesehatan, dan hasilnya menjadi data basis pengembangan formula apa yang dibutuhkan mendukung penggunaan regimen terapi konvensional. Disamping itu, tentunya hasil saintifikasi jamu berupa 11 ramuan jamu scientific yang telah dilaksanakan oleh Kementerian Kesehatan dapat dikembangkan menjadi OHT atau fitofarmaka dengan riset lanjutan yaitu peningkatan dalam bentuk sediaan ke arah komersial produk.
“Saya berharap dengan webinar ini mampu melahirkan ide dan inovasi terkait obat herbal atau jamu kepada seluruh yang hadir pada momen hari ini,” harap Indi.
Perekayasa Ahli Madya PRBBOOT,
Chaidir Amin menjelaskan, mengenai strategi penguatan riset tanaman obat untuk meningkatkan mutu bahan baku jamu.
“Dukungan riset bagi Bahan Baku Obat Bahan Alam (BBOBA) yang bermutu yaitu ketersediaan BBOBA dengan mutu yang baik atau konsisten dan jumlah yang berkelanjutan, sangat diperlukan untuk meningkatkan keamanan dalam penggunaan, manfaat bagi masyarakat serta daya saing industri,” ujarnya.
Dirinya juga menerangkan, sumber tanaman obat 85 persen diperoleh dari alam sebagai tumbuhan liar, yang berdampak mutu beragam, adulterasi, kepunahan dan pasokan tidak berkelanjutan. Selain itu, pelaku produsen tanaman obat didominsi petani pengumpul bukan penanam.
“Sehingga kita harus tingkatkan sisi produsennya dan kita harus buka sentra-sentra produksi di tempat lain,” tutur Chaidir.
Ia melanjutkan, selain riset ilmu hayati dan keteknikan, dibutuhkan juga riset sosial ekonomi untuk menghasilkan kebijakan dan regulasi bagi intervensi di bidang ekonomi mikro, perdagangan dan kelembagaan dalam bisnis BBOBA.
“Di BRIN semuanya sudah ada, kita tinggal bekerja sama dengan perguruan tinggi dan pemerintah agar semuanya bisa terselesaikan dengan paripurna. Untuk meningkatkan difusi dan adopsi IPTEK produksi BBOBA dapat digunakan model konsorsium kemitraan qudruple helix yang sudah kita laksanakan sampai saat ini, sehingga meningkatkan mutu BBOBA dan jumlah sentra produksi tanaman obat dan BBOBA,” pungkas Chaidir.
Discussion about this post