JAKARTA, KabarSDGs – Formula E (E-Prix) dijadwalkan akan diselenggarakan pada 4 Juni 2022 di Sirkuit Ancol, DKI Jakarta. Diharapkan pada ajang internasional tersebut sebagai momentum untuk beralih dari kendaraan konvensional berbahan BBM beralih ke kendaraan listrik, khususnya bagi masyarakat Indonesia.
Direktur Jaringan Kerja Komite Penghapusan Bensin Bertimbal (KPBB) Ahmad Syafrudin mengatakan, ajang Formula E tersebut harus dijadikan momentum yang tepat untuk peralihan energi ke listrik untuk kendaraan.
“Selama ini kita punya masalah polusi udara yang naik tajam. Selain pencemaran udara, masalah lain munculnya kemacetan di kota-kota besar di Indonesia,” ujarnya dalam kanal Youtube Jak Pro berjudul ‘Sustainability Talk Formula E’.
Ahmad meneruskan, jika di tingkat global berimplikasi dengan gas hijau atau ramah lingkungan. Selain itu, juga beban masalah bahan bakar minyak (BBM).
Ia mencontohkan, misalnya terkait bahan bakar solar yang masih disubsidi, sehingga menjadi beban pemerintah. Di sisi lain, lanjutnya, premium dan pertalite yang tidak disubsidi, menjadi beban terkait masalah impornya.
“Terkait emisi sepeda motor itu yang terbesar secara nasional. Kita harus mengambil langkah-langkah konkret untuk mengurangi emisi,” jelas Ahmad.
Diketahui, total populasi sepeda motor di Indonesia jumlahnya sekitar 82 persen dari jumlah semua kendaraan sebagai penyumbang emisi dan penyerap BBM terbesar, disusul truk dan bus. Khusus di DKI Jakarta, paling banyak adalah truk, disusul sepeda motor dan bus.
Ia merasa, saat ini masyarakat Indonesia masih ragu membeli kendaraan listrik. Di antaranya seperti khawatir kalau baterainya gampang rusak (soak).
Seperti diketahui, kapasitas baterai motor listrik rata-rata dapat dipakai 60 km. Sedangkan untuk mobil bisa mencapai 400 km.
“Enggak usah khawatir, itu sebuah mitos yang ditebarkan oleh mereka yang nyaman dengan teknologi konvensional tadi. Kita harus ambil bagian, jangan diam,” tegas Ahmad.
Dengan adanya ajang Formula E ini, ia berharap dapat membuka wawasan masyarakat. Ia mendata, saat ini harga motor listrik sekitar Rp 28 juta, dibanding motor konvensial lebih mahal sekitar Rp 10 juta.
Akan tetapi, lanjut Ahmad, jika dihitung dalam jangka tiga tahun, maka motor listrik bisa lebih murah. Hal itu dikarenakan energy losses dari listrik itu rendah, yakni hanya 10 persen.
“Sementara itu, kendaraan konvensional jumlah energy lossesnya 39 sampai 40 persen. Sehingga biaya operasionalnya jadi lebih murah. Kendaraan listrik hanya mahal di depan saja,” ujarnya.
Apalagi, harap Ahmad, jikalau negara hadir seperti di Singapura, India, dan beberapa negara Eropa yang mensubsidi kandaraan listrik, sehingga setidaknya harganya bisa sama.
Ia optimis, jika proses industri kendaaran listrik sudah terjadi, maka infrastruktur pun juga pasti dipersiapkan.
“Kalau saat ini kan masih wait and see. Masyarakat yang ingin membeli harus menunggu sampai kendaraan listrik hadir dan siap. Pihak industri juga menunggu, ada atau tidak pembelinya,” ujar Ahmad.
Dari segi pemerintah, imbuhnya, posisinya saat seperti ditarik-tarik, di satu sisi mengaruskan pro dengan energi konvensional. Akan tetapi, di satu sisi harus mengambil keputusan mengikuti agenda SDGs dengan ekonomi hijau, Perjanjian Paris, dan kesepakan lainnya yang membuat pemerintah Indonesia harus mewujudkan hal tersebut.
Ahmad menghimbau, agar masyarakat tidak ragu memilih dan membeli produk kendaraan listrik. Ia juga berharap pemerintah tidak tinggal diam dan mendukung kampanye ekonomi hijau atau karbon rendah.
“Diharap event ini menjadi triger kuat untuk mengambil momentum ini. Kalau pemerintah dan industri di Indonesia telat, Malaysia bisa mengambil momentum ini,” tegas Ahmad.
Discussion about this post