JAKARTA, KabarSDGs – Beberapa waktu yang lalu, Undang-undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) telah disahkan oleh DPR. Akan tetapi, kemudian muncul pernyataan dari beberapa kalangan menyatakan perkosaan tidak masuk ke dalam UU tersebut.
Selain itu, ada juga yang berpendapat, karena perkosaan diatur di KUHP, maka ditangani hanya dengan KUHAP tanpa hukum acara khusus di UU TPKS.
Anggota Panja RUU TPKS Fraksi NasDem, Taufik Basari menjelaskan perkosaan menurut UU TPKS adalah Tindak Pidana Kekerasan Seksual, sehingga keliru jika dikatakan perkosaan tidak masuk dalam UU TPKS.
“Pasal 4 UU TPKS menentukan 18 jenis tindak pidana yang termasuk tindak pidana kekerasan seksual,” ujarnya dalam keterangan tertulisnya di Jakarta, Kamis (14/04/2022)
Ia menerangkan, pasal 4 ayat (1) huruf a sampai huruf i menetapkan 9 tindak pidana baru yang kemudian rumusan unsur deliknya diuraikan dalam UU TPKS
Taufik melanjutkan, pasal 4 ayat (2) UU TPKS menyatakan selain tindak pidana yang diatur ayat 1, tindak pidana kekerasan seksual juga meliputi 9 tindak pidana lain yang telah ada/diatur di undang-undang lain (Pasal 4 ayat 2 huruf a sampai dengan huruf i) dan tindak pidana lainnya yang secara tegas disebutkan sebagai tindak pidana kekerasan seksual dalam aturan perundang-undangan (Pasal 4 ayat 2 huruf j UU TPKS)
“Perkosaan adalah tindak pidana yang telah diatur dalam undang-undang lain (KUHP) namun oleh Pasal 4 ayat 2 huruf a UU TPKS ini dinyatakan termasuk sebagai tindak pidana kekerasan seksual, sama halnya dengan 9 tindak pidana yang disebutkan dalam Pasal 4 ayat 1 UU TPKS,” tegasnya
Taufik menjelaskan, pasal 4 ayat 2 huruf j adalah pasal yang memberi peluang adanya tindak pidana kekerasan seksual lainnya di masa mendatang sepanjang secara tegas dinyatakan dalam undang-undang yang mengaturnya tersebut disebut sebagai tindak pidana kekerasan seksual.
Menurutnya, perkosaan dan tindak pidana lainnya yang disebutkan dalam Pasal 4 ayat 2 UU TPKS tunduk pada seluruh ketentuan UU TPKS mulai dari pencegahannya, penanganannya, hukum acara khususnya, hingga pemulihan dan pemenuhan hak-hak korban, sama seperti tindak pidana yang disebutkan dalam Pasal 4 ayat 2 UU TPKS.
Taufik menambahkan, yang menjadi pembeda antara tindak pidana yang disebutkan dalam Pasal 4 ayat 1 dengan tindak pidana yang disebutkan dalam Pasal 4 ayat 2 UU TPKS hanyalah, untuk tindak pidana dalam Pasal 4 ayat 1 unsur-unsurnya diuraikan dalam UU TPKS ini karena merupakan delik baru.
Sementara untuk tindak Pidana dalam Pasal 4 ayat 2 huruf a sampai dengan huruf i UU TPKS, unsur-unsur deliknya telah diuraikan dalam undang-undang lain di luar UU TPKS karena merupakan delik lama yang telah ada sebelum adanya UU TPKS.
“Mengapa perkosaan tidak dimasukkan saja pada Pasal 4 ayat 1 dan kemudian diuraikan unsur-unsur deliknya pada pasal-pasal berikutnya? Hal ini disebabkan undang-undang yang disusun harus sinkron dan harmoni dengan undang-undang lainnya yang telah ada terlebih dahulu dan jangan terjadi redundant atau pengulangan,” jelas Taufik.
Sehingga, imbuhnya, untuk menghindari tumpang tindih dan pengulangan dengan undang-undang lain maka digunakan model pengaturan sebagaimana tercantum pada Pasal 4 ayat (2) UU TPKS. Pasal ini merupakan pasal “jembatan” antara UU TPKS dengan UU lain yang eksisting.
Ia menyimpulkan, perkosaan termasuk tindak pidana kekerasan seksual yang tunduk pada seluruh ketentuan UU TPKS.
“Korban perkosaan akan ditangani menurut ketentuan UU TPKS baik dalam hal mendapatkan pendampingan, hukum acara dan pembuktiannya, hingga hak atas pemulihan termasuk juga hak atas restitusi dari pelaku dan hak atas kompensasi yang akan dipenuhi melalui mekanisme dana bantuan korban atau victim trust fund,” pungkas Taufik.
Discussion about this post