JAKARTA, KabarSDGs – Peran aktif pendamping desa sangat menentukan untuk mewujudkan SDGs Desa sebagai arah kebijakan pembangunan desa.
Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi Abdul Halim Iskandar menerangkan, diperlukan langkah taktis dan strategis untuk perubahan paradigma pendampingan agar eksistensi pendamping desa dapat optimal dalam pencapaian tujuan SDGs Desa.
“Gagasan untuk menegaskan eksistensi Kemendes PDTT dan Pendamping dalam konteks Desa salah satunya adalah perubahan paradigma dalam pendampingan, termasuk arah kebijakan pembangunan desa. Pembangunan desa akan dibawa sesuai dengan arah yang tercantum dalam SDGs Desa,” ujarnya dalam pers rilis yang dikeluarkan Kementerian Desa.
Halim menjelaskan, yang pertama adalah memberikan apresiasi yang lebih atas besarnya beban kerja dan tanggung jawab pendamping desa dengan memperjuangkan kenaikkan honorarium bagi Pendamping Lokal Desa (PLD).
Menurutnya, sebagai ujung tombak di level desa, gaji yang diterima PLD saat ini secara umum masih relatif rendah dan perlu ditingkatkan lagi.
Halim mengaku, dirinya terus memperjuangkan hal tersebut dengan kordinasi dengan berbagai pihak. Menurut unformasi yang ia terima, usulan tersebut sudah berada di meja Menteri Keuangan.
Ia melanjutkan, penguatan eksistensi pendamping desa yang kedua adalah pengawasan dan peningkatan kinerja yang menjadi tolok ukur profesionalitas pendamping desa.
Menurutnya, eksistensi profesionalitas pendamping desa dibangun berdasarkan Merrit System atau penjenjangan karier. Yaitu promosi atau pengisian posisi di sebuah tempat diupayakan diisi oleh Pendamping pada level di bawahnya. Menurut Gus Halim, langkah ini penting, karena Pendamping Desa adalah anak kandung Kemendes PDTT, sehingga keberadaan Pendamping Desa turut menentukan eksistensi Kemendes PDTT.
“Penopang eksistensi Kemendes itu pertama adalah birokrat. Kedua adalah Pendamping Desa. Oleh karena itu, kami akan berusaha sekuat mungkin agar eksistensi Pendamping Desa itu berdasarkan kinerja dan harus dilakukan Merrit System atau penjenjangan karier. Makanya saya tegaskan harus merekrut pada level PLD agar jenjang karier TPP juga jelas dan memberikan penghargaan kepada Pendamping yang berprestasi,” kata Gus Halim.
Halim melanjutka, yang ketiga adalah peningkatan kualitas SDM pendamping desa. Salah satunya melalui Program Rekognisi Pembelajaran Lampau Desa (RPL Desa) yaitu penyetaraan pengalaman dan pengabdian di desa secara akademik untuk kualifikasi pendidikan tinggi yang diikuti Semua Pendamping Desa, Kepala Desa, Perangkat Desa, Pengelola BUM Desa serta semua pegiat desa.
“Saya juga akan percepat pertumbuhan SDM di desa salah satunya melalui RPL Desa. Kami bakal mencoba merayu salah satu di Jawa Barat atau Banten untuk memberikan beasiswa bagi Kades, Perangkat Desa dan Pendampingan desa untuk masuk dalam program Rekognisi Pembelajaran Lampau (RPL) Desa,” jelasnnya.
Diketahui, Program RPL Desa yang sudah diresmikan adalah beasiswa dari Pemkab Bojonegoro sedang berlangsung di dua universitas yaitu Universitas Negeri Yogyakarta dan Universita Negeri Surabaya. Jumlah peserta sebanyak 1.067 mahasiswa Strata Satu dengan beasiswa UKT sebesar Rp22 juta.
Halim berharap, segala upaya tersebut dapat memperkuat eksistensi pendamping desa dalam rangka pencapaian tujuan SDGs Desa. Oleh karena itu, para pendamping desa juga harus memahami secara utuh dan komprehensif SDGs Desa dengan semua goals dan Indikator-indikatornya.
Discussion about this post