JAKARTA, KabarSDGs – Di Indonesia saat ini masih banyak terdapat masyarakat miskin di pedesaan pertanian. Melihat hal tersebut, Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) menjadikan pertanian sebagai salah satu objek material dari sebuah proses penelitian, pendampingan yang akan kami lakukan ke depan. Baik melalui riset aksi, maupun riset biasa, dan diiringi dengan berbagai kegiatan lainnya.
Kepala Pusat Riset Kesejahteraan Sosial, Desa, dan Konektivitas (PRKSDK), Organisasi Riset Tata Kelola Pemerintahan, Ekonomi, dan Kesejahteraan Masyarakat (ORTKPEKM), BRIN Alie Humaedi mengatakan, situasi pedesaan pertanian sekarang, sangat memprihatinkan.
“Saya ingin mengucapkan terima kasih, dan mendorong, serta memberikan penghargaan kepada semua petani di Indonesia. Mereka adalah pahlawan pangan, yang kadang kita tidak pernah menilainya dengan apresiasi yang tinggi. Mereka sering kali menjadi obyek penderitaan, dari sebuah proses pembangunan di negara ini,” ujarnya dalam webinar BRIN Insight Every Friday (BRIEF) episode ke-69 mengusung tema Desa Tani: Anomali Sebuah Bangsa Agraris pada Jumat (17/03/2023).
Menurut Alie, kendati dikenal sebagai negara agraris, nyatanya untuk memasok kebutuhan pangan di dalam negeri saja, Indonesia masih harus impor beras. Kondisi ini diperparah dengan banyaknya penduduk desa yang berurbanisasi, atau memilih pergi menjadi pekerja migran ketimbang menjadi petani di daerah asalnya.
“Ibarat lumbung penuh pangan dibiarkan tanpa kemauan dan itikat baik penduduknya,” ungkap Alie.
Menurutnya, anomali perubahan sosial ini tidak terlepas dari kondisi kehidupan petani di pedesaan.
“Jangankan untuk sejahtera, untuk membiayai kebutuhan hidupnya saja harus menjual sawah tempat mata pencariannya,” keluh Ali.
Selain itu, ia mengungkapkan, setidaknya terdapat tiga masalah yang dihadapi dalam pertanian. Pertama, masalah lahan yang semakin terbatas dengan banyaknya alih fungsi lahan pertanian. Alih fungsi lahan dan kebijakan pemanfaatan tanah, serta keterbatasan akses banyak dijumpai di daerah pertanian.
Kedua, masalah ketenagakerjaan, yaitu 80 persen profesi petani didominasi oleh orang tua, sementara pelibatan kaum perempuan, kaum muda, disabilitas, dan masyarakat adat masih kurang.
Ketiga adalah masalah mata rantai produksi yang kerap menjerat para petani. Produksi pertanian sering terganggu akibat adanya sistem mata rantai yang merugikan petani.
Menurut Ali, untuk mengatasi permasalahan tersebut, memberikan solusi dengan menciptakan atau membangun Desa Tani berkelanjutan.
“Kita perlu mendorongnya secara berkelanjutan, misalnya perlu kebijakan strategis persoalan pangan, program pro petani, penciptaan lahan baru, serta peningkatan kualitas dan tata kelola lahan,” jelasnya.
Menurutnya, solusi selanjutnya adalah Desa Tani berbasis komoditas, yaitu penguatan ketenagakerjaan, adopsi dan adaptasi teknologi, serta komoditas pertanian terpadu. Setelah itu, lanjutnya, mitigasi dan respon kegagalan, serta solusi selanjutnya pengutan produksi hulu dan hilir pertanian.
Menurut Allie, jika berbagai permasalahan di sektor pertanian dibiarkan, maka keadaan petani dan dunia pertanian, akan menjadi sebuah anomali dari sebuah bangsa yang mengidentikkan dirinya sebagai bangsa agraris.
“Kalau kita melupakan mereka, melupakan sebuah proses menjadi Desa Tani yang sejahtera. Berarti, kita sedang memposisikan anomali bangsa ini,” tegasnya.
Alie melanjutkan, merancang bangun Desa Tani, berarti memulihkan kembali kondisi pertanian untuk menjadi lebih baik dan mampu mencukupi kebutuhan pangan dalam negeri. Dibutuhkan dukungan pemerintah, guna mewujudkan Desa Tani yang mampu memberikan solusi, atas permasalahan yang selama ini dihadapi oleh para petani.
Ia menjelaskan, Indonesia memiliki karakter kuat sebagai negeri agraris, maka desa tani menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari pembangunan negara ini.
“Bagaimana cara membangun desa tani secara berkelanjutan, maka proses stimulasi yang efektif bagi literasi, adopsi. Adaptasi teknologi, yang berbasiskan pada sumber pengetahuan lokal, ataupun global. Memungkinan inovasi-inovasi dalam bidang pertanian, bisa dikembangkan. Riset aksi menjadi salah satu jalan, dari upaya-upaya ini,” ungkapnya.
Alie juga berharap, melalui riset dan inovasi, Desa Tani dapat diwujudkan dan menjadi solusi di bidang pertanian.
“Semoga ke depannya, baik secara individu maupun kelembagaan, BRIN mampu mendorong model riset aksi ini bisa dikembangkan lebih lanjut. Jadi sains bukan hanya urusan sains, tapi science for society, science for empowerment, menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari pembangunan dan perencanaan BRIN ke masa mendatang,” pungkasnya.
Discussion about this post