JAKARTA, KabarSDGs – Lonjakan harga komoditas pangan nasional yang terjadi setahun terakhir menjadi momok menakutkan bagi masyarakat. Padahal Indonesia merupakan negara agraria yang mayoritas penghidupannya dari sektor pertanian.
Ekonom Universitas Indonesia Faisal Basri mengatakan, harga pangan dunia tertinggi tahun ini sepanjang masa. Lebih gila lagi, kata dia, Indonesia sebelumnya merupakan pengekspor gula tebu terbesar kedua didunia atau sebesar 5,5 juta ton pada 2020, seksrang menjadi pengimpor terbesar didunia.
Selain itu ujar dia, perkembangan harga Crude Palm Oil (CPO) yang naik merupakan dampak dari kenaikan harga komoditas dunia naik luar biasa. Namun yang menyedihkan, janji Presiden Joko Widodo untuk tidak impor belum terwujud hingga sekarang.
“Untuk urusan perut Indonesia masi banyak impor daripada ekspor,” ujarnya dalam diskusi pangan yang diselenggarakam Koalisi Rakyat Kedaulatan Pangan (KRKP), di Galeri Salihara, Selasa (28/6).
Sayangnya, dia menyebutkan, tingginya harga komoditas pangan tidak dibarengi dengan nilai tukar petani yang menjanjikan. Justru, nilai tukar petani makin turun, tanaman pangan paling tertekan, bahkan di era pandemi terus mengalami penurunan hingga Mei 2022.
“Perkebunan rakyat sawit, larangan ekspor dijalankan tapi harga sawit anjlok ditingkat petani,” ujar dia.
Menurutnya salah satu keladi kenaikan harga CPO di Indonesia juga berkat prioritas pemerintah meningkatkan peran CPO terhadap pemanfaatan biodisel. Sebanyak 40 persen CPO diserap oleh program energi tersebut.
“Sementara pangan dinomor duakan. Sehingga terjadi kelangkaan minyak,” kata dia.
Faisal juga nenyoroti pemerintah yang hanya fokus pada masalah harga daging dan distribusinya. Sementara Indonesia sebagai negara kepulauan memiliki sumber protein terbesar dari ikan.
“Ikan sumber protein utama diindonesia. Ngapain ngurusin daging, yang diurus harusnya ikan, kampanye ikan,” kata dia.
Masalah pemerataan harga pangan juga terjadi pada kendala distribusi yang tidak kunjung diselesaikan. Walau sudah ada program tol laut, tidak memangkas secara signifikan tingginya harga pangan di wilayah timur.
Dia meminta pemerintah menjalankan kembali pendulum nusantara, dan mulai melakukan diversifikasi pangan. Faisal mengatakan, banyak jenis pangan yang bisa dimanfaatkan untuk mencapai swasembada dan meminimalisir importasi.
“Diversifikasi harus sudah mulai dilakukan, bisa beras dari jagung, mie dari sagu, atau bihun dari singkong. Ini bisa membuat kami swasembada. Dimulai dari tingkat kabupaten,” katanya.
Koordinator KRKP Said Abdullah mengatakan, persoalan pangan harus bergerak diatas bawah. Sayangnya keduanya tidak bergerak beriringan, sehingga tidak sejalan.
“Diversifikasi menjadi daya lenting di Indonesia dan lokalitas. Problemnya keragaman belum di republish di negara kita,” katanya.
Discussion about this post