Jakarta, KabarSDGs.com– Saat ini dapat dikatakan angkutan umum massal yang layak dan memadai sudah menjadi kebutuhan yang vital bagi masyarakat terutama di kota besar atau metropolitan.
Namun sayangnya, di Indonesia, baru Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta dan Pemerintah Kota (Pemkot) Semarang yang sudah menyelenggarakan angkutan perkotaan berbasis BRT (Bus Rapid Transit) dengan mekanisme subsidi BTS (Buy The Service), dengan anggaran sepenuhnya berasal dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD).
Pakar Otonomi Daerah Djohermansyah Djohan mengungkapkan, merujuk Undang-Undang No. 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, Pemerintah Daerah memiliki kewajiban menyediakan prasarana dan sarana transportasi yang aman dan nyaman bagi masyarakatnya.
Untuk membangun dan mengembangan sistem transportasi yang aman dan nyaman tersebut diperlukan kemauan politik pemerintah daerah.
Namun, memang dalam Undang-Undang Pemerintah Daerah, prasarana dan sarana transportasi belum masuk menjadi urusan pemerintahan wajib yang berkaitan dengan pelayanan dasar.
Melihat perkembangan perkotaan besar dan aglomerasi, layanan transportasi umum perkotaan idealnya sudah menjadi pelayanan dasar karena terkait erat dengan mobilitas misalnya pekerjaan dan pendidikan.
Oleh karena itu, regulasinya harus segera didorong. Pemerintah Pusat lewat Kemendagri misalnya bisa memberi arahan yang jelas, untuk menyakinkan kepala daerah agar mengalokasikan APBD-nya untuk transportasi publik.
“Saya melihat faktor leadership kepala daerah juga penting yaitu memperjuangkan warganya agar mendapat pelayanan transportasi publik yang baik,” ujar Presiden Institut Otonomi Daerah ini.
Djohermansyah menjadi pembicara di acara Ngopi Jabodetabek “Ngobrol Seputar Transportasi Jabodetabek” dengan tema “Biskita: Inspirasi Angkutan Umum Perkotaan Terintegrasi Di Bodetabek” di Jakarta (19/4) yang diselenggarakan oleh Badan Pengelola Transportasi Jabodetabek (BPTJ).
Sementara itu, Direktur Angkutan Badan Pengelola Transportasi Jabodetabek (BPTJ) Tatan Rustandi mengungkapkan, dalam rencana strategis BPTJ sudah terdapat rencana pengembangan angkutan perkotaan berbasis BRT atau Biskita di wilayah lain di Bodetabek.
Untuk mewujudkan hal ini, kata dia, komitmen pemerintah daerah menjadi kunci terutama membuat agenda untuk mendukung penyelenggaraan angkutan perkotaan berbasis BRT di kotanya masing-masing.
Menurutnya, Komitmen pemerintah daerah menjadi kata kunci. Kota Bogor, lanjutnya, merintis Biskita, bukan satu dua tahun, tetapi cukup lama sehingga saat diimplementasikan berjalan dengan baik tanpa ada protes dan mendapat dukungan warga.
“Sejatinya, pembangunan angkutan perkotaan berbasis BRT juga bertujuan membangun peradaban para pengambil kebijakan di daerah agar memprioritaskan anggaran untuk layanan angkutan umum perkotaan,” ujar Tatan Rustandi
Senada dengan keduanya, Mulyadi dari Dinas Perhubungan Kota Semarang mengatakan, latar belakang lahirnya Trans Semarang adalah komitmen Walikota Semarang untuk menghadirkan layanan transportasi perkotaan yang selamat, aman, nyaman, efisien dan terjangkau.
“Memang harus ada komitmen pemerintah daerah untuk membangun transportasi massal agar warga beralih dari kendaraan pribadi ke angkutan umum. Saat ini Trans Semarang melayani sebanyak 33 ribu penumpang per hari,” ujarnya.
Discussion about this post