JAKARTA, KabarSDGs — Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG) menyebut gempa bumi berulang dengan periode waktu berbeda yang terjadi Mamuju dan Majene Provinis Sulawesi Barat bukanlah fenomena aneh. Sebab, pada tahun-tahun sebelumnya sering terjasi gempa. Sebab, keduanya termasuk daerah aktif gempa.
“Terjadinya gempa merusak di Majene bukan hal aneh. Secara tektonik, wilayah pesisir dan lepas pantai Sulawesi Barat terletak di zona jalur lipatan dan sesar atau fold and thrust belt,” ujar Daryono, dalam siaran pers yang diterima KabarSDGs, Selasa (2/2/2020).
Secara khusus, wilayah Majene dan Mamuju pernah terdampak gempa secara berulang dengan periode waktu berbeda. Daryono mengatakan fenomena gempa di wilayah itu tercatat sejak 1967.
Historis gempa merusak dan pernah terjadi tsunami, antara lain gempa Majene M6,3 pada 1967, kemudian 23 Februari 1969 dengan magnitude 6,9. Dua kejadian ini memicu terjadinya tsunami. Total lebih dari 100 warga meninggal dunia pada dua peristiwa tersebut.
Selanjutnya gempa Mamuju M5,8 pada 6 September 1972, gempa Mamuju M6,7 pada 8 Januari 1984, dan kejadian sebelum kejadian kemarin yaitu pada 7 November 2020, Rangkaian gempa ini bersifat merusak.
Lalu, gempa Majene yang terjadi pada dua hari berurutan yaitu 14 Januari 2021 dengan M5,9 dan 15 Januari 2021 dengan M6,2.
Ahli geologi Institut Teknologi Bandung (ITB) Benyamin Sapiie menyampaikan daerah Majene dan Mamuju merupakan daerah aktif deformasi berupa lipatan anjakan, yang melibatkan batuan dasar dan memperlihatkan keaktifan gempa tinggi.
“Gempa Mamuju yang terjadi juga diakibatkan oleh aktivitas sesar naik pada zona fold-thrust-belt di bawah permukaan yang melibatkan batuan dasar, yang merupakan bagian dari zona FTB Sulawesi Barat,” tambah Sapiie.
Pascagempa M6,2 BMKG mencatat hingga Senin, 1 Februari 2021, telah terjadi 39 kali gempa susulan. “Total jumlah gempa sejak terjadi gempa pembuka tercatat 48 kali dengan gempa dirasakan sebanyak 10 kali,” ujar Daryono.
Sementara itu, dilihat dari sisi kerusakan bangunan, gempa awal tahun ini sangat merusak. Namun demikian tampak titik-titik kerusakan tersebar tidak merata.
Analisis kerusakan pada bangunan tampak ada kerusakan, seperti pada area sambungan balok kolom dan dilatasi. Dilatasi merupakan sambungan atau pemisahan pada bangunan, yang berfungsi menghindari terjadinya keretakan atau putusnya sistem struktur bangunan apabila terjadi beban pada bangunan.
Menurut Guru Besar Fakultas Teknik Sipil dan Lingkungan ITB Iswandi Imran, faktor kerusakan bangunan tertentu dipengaruhi acuan terhadap building code yang mengacu pada SNI 2002 atau sebelumnya. Ia mengatakan, seismic detailing yang terpasang kemungkinan besar tidak memadai untuk zona gempa tinggi.
Discussion about this post