JAKARTA, KabarSDGs — Pemanfaatan influencer dari kalangan selebritis dalam kegiatan sosialisasi atau penyuluhan merupakan alternatif upaya Pemerintah memobilisasi massa agar menerapkan protokol kesehatan. Namun jika tidak dapat memilih sosok influencer, justeru menjadi ‘blunder’ atau malah meninggalkan program penyuluhan.
Jika tidak ingin terjadi ‘blunder’ apalagi mengandaskan program yang sudah direncanakan, Pemerintah harus ekstra selektif memilih influencer yang kredibel untuk sosialisasi (penyuluhan),” kata pangamat Komunikasi Massa dan Penyuluhan (KMP), Metha Madonna dari Universitas Bhayangkara Jakarta Raya kepada KabarSDGs, Jakarta, Senin (18/1/2021).
Pendapat tersebut dikemukakan Metha terkait kontroversial perilaku selebritis Raffi Ahmad yang diusung Pemerintah untuk menyukseskan mengajak masyarakat terinspirasi dan sadar atas pentingnya protokol kesehatan ternyata malah mengundang hujatan dari warganet (netizen).
“Dikhawatirkan permasalahan yang terkait Raffi beberapa waktu lalu justeru akan menurunkan kepercayaan masyarakat kepada Pemerintahan Joko Widodo dalam hal penanganan pandemik Covid-19 di Tanah Air,” jelas Metha.
Menurutnya, sebagaimana dalam periklanan atau bisnis bahwa peran influencer cukup penting guna mengdongkrak penjualan. Begitu pula dalam penyuluhan atau komunikasi massa, peran influencer atau publik figur cukup strategis untuk memengaruhi masyarakat (followers). Apalagi figur tersebut sudah mengakar atau selalu jadi ‘trend center’ pada komunitas tertentu.
“Kredibitas dan populiritas influencer punya korelasi kuat dengan kepercayaan publik untuk meniru atau mengikuti prilakunya. Bila prilaku figur tadi menyimpang maka jangan berharap massa akan tetap mengikuti ajurannya,” jelas mahasiswi Program Studi Doktoral Komunikasi Pembangunan (Peminatan Penyuluhan), Fakultas Ekologi Manusia Institut Pertanian Bogor (IPB).
Diakui Metha, belum banyak riset soal pemanfaatan influencer dari kalangan selebritis untuk penyuluhan kecuali influencer sebagai tokoh nonformal yaitu pimpinan atau ketua di komunitas petani atau pedesaan. Karenanya mantan jurnalis ini mengajukan proposal disertasi dengan topik pemanfaatan influencer dalam akselerasi penyuluhan yang tidak hanya terfokus pada bidang pertanian saja.
Sintesa yang dapat ditarik dari kasus Raffi Ahmad, tegas Metha, Pemerintah harus ekstra selektif dalam memilih influenzer penyuluhan atau bisa disiasati dengan perjanjian atau komitmen yang harus ditaati oleh seorang duta sepanjang kegiatan sosialisasi program nasional tersebut berlangsung.
“Namun kembali dalam paradigma penyuluhan, memang semestinya Pemerintah juga mempertimbangkan reaktualisasi peran penyuluh dan penyuluhan pada setiap Kementerian, instansi atau lembaga di tingkat Pusat maupun Daerah,” ujar dia.
Menurut dosen Fikom Universitas Bhayangkara Jaya, perlu perhatian dan alokasi pendanaan bagi penyuluh kesehatan, pertanian, hukum dan sebagainya. “Sebab, sebetulnya paling bersentuhan langsung dengan masyarakat guna menciptakan sebuah perubahan. Maka penting bagi Pemerintah membangkitkan kembali penyuluhan dan meningkatkan professionalitas penyuluh”.
Discussion about this post