CILACAP, KabarSDGs — Keberadaan ekosistem di sepanjang garis pantai di Selatan Jawa sangat penting untuk mitigasi potensi bencana tsunami. Selain dapat mengurangi dampak kerusakan, hal itu juga dapat mencegah jatuhnya korban jiwa apabila terjadi tsunami.
“Dengan adanya pembatas ekosistem seperti vegetasi tanaman kuat di sepanjang garis pantai, maka energi gelombang tsunami dapat direduksi,” jelas Pelaksana Tugas Direktur Pemetaan dan Risiko Bencana BNPB, Abdul Muhari dalam keterangan resmi yang diterima KabarSDGs, Sabtu (5/12/2020).
Menurut hasil penelitiannya, pascatsunami Pangandaran 2006 silam, Muhari beserta tim menemukan bukti sisa kerusakan ranting pohon yang diduga terhantam gelombang tsunami pada ketinggian 15 hingga 22 meter di beberapa titik Pulau Nusakambangan. Kendati banyak pohon yang rusak, namun energi gelombang diyakini menjadi melemah.
“Meski sebagian besar pohonnya hancur, tapi di belakang pohon itu energi gelombangnya sudah tereduksi. Ini yang perlu kita perhatikan sehingga keseimbangan ekosistem di sekeliling kita itu sangat penting untuk mitigasi bencana,” ungkap Abdul Muhari.
Menurut dia, belajar dari pascatsunami Pangandaran 2006, menurut Muhari memang masih ada dua potensi besar yang kemudian dapat memicu munculnya tsunami di wilayah Selatan Jawa di masa depan, khususnya yang dapat berdampak pada wilayah Kabupaten Cilacap.
“Adapun potensi pertama adalah zona patahan dari wilayah selatan Banten hingga Pangandaran, yang mana menurut Muhari dapat berpotensi memicu gempa dasar laut dengan kekuatan hingga magnitudo 8,8,” ujarnya.
Apabila periode gempa dasar laut tersebut berlangsung hingga 30-60 detik, maka hal itu dapat dipastikan akan memicu terjadinya gelombang tsunami hingga setinggi 5 meter.
Potensi kedua, menurut Muhari, gempa dasar laut dengan kekuatan hingga magnitudo 8,9 dengan episentrum di wilayah selatan Yogyakarta hingga Pacitan. Maka daerah Kulonprogo, Kebumen, Purworejo hingga Cilacap dapat terdampak gelombang tsunami.
“Yang sebelah barat di selatan Banten itu 8,8 (magnitudo), yang di sebelah timur ini (magnitudonya) 8,9,” jelas Abdul Muhari.
Muhari juga mengatakan, apabila pelepasan energi dari kedua titik tersebut terjadi secara bersamaan, maka anomalinya dapat lebih besar lagi menjadi magnitudo 9,1 seperti yang pernah terjadi di Aceh pada 2004.
“Tetapi kalau pecah bersamaan itu magnitudo-nya bisa sampai 9,1 lebih kurang sama dengan Banda Aceh 2004,” jelas Muhari.
Berdasarkan hasil publikasi Jurnal Nature dari pemodelan peristiwa Tsunami Pangandaran 2006, Muhari mengatakan bahwa gelombang tsunami menghantam bagian selatan Nusakambangan dalam periode waktu 30 menit.
Sedangkan dengan pemodelan yang sama dari titik episentrum di sebelah timur, maka gelombang tsunami sampai di pesisir selatan Pulau Jawa dalam waktu 40 hingga 60 menit.
“Maksimal dalam waktu 40 sampai 60 menit, tsunami sudah sampai daerah Kulon Progo, Kebumen hingga Cilacap,” jelas Muhari.
Muhari juga menjelaskan gelombang tsunami juga berpotensi memiliki rangkaian gelombang lainnya di belakang. Sehingga hal itu harus diantisipasi dengan baik.
“Sampai 5 jam itu gelombangnya akan tetap berosilasi. Bahwa tsunami ini bukan satu gelombang, tapi rangkaian gelombang,” jelasnya.
Dia menegaskan, begitu satu gelombang yang tinggi sudah lewat, maka bukan berarti tsunaminya selesai. Bisa jadi di belakangnya masih ada rangkaian gelombang berikutnya.
Muhari berharap agar informasi tersebut kemudian perlu dijadikan bahan pertimbangan untuk pengambilan kebijakan oleh Pemerintah Daerah Kabupaten Cilacap, untuk memitigasi wilayahnya dari adanya potensi gelombang tsunami.
“Ini yang perlu kita perhatikan,” katanya.
Discussion about this post