JAKARTA, KabarSDGs – Center for Indonesia’s Strategic Development Initiatives (CISDI) menilai Indonesia dapat mengadopsi strategi Filipina dalam pengendalian tembakau. Namun, semua pembuat kebijakan harus menunjukkan komitmen nyata untuk mewujudkannya.
Filipina menerapkan sin tax reform sejak 2012. Kebijakan ini mengatur sebagian dana hasil cukai tembakau digunakan untuk pembangunan kesehatan, khususnya universal health coverage. Menurut Project Advisor for Tobacco Control CISDI Nurul Luntungan, pemerintah Indonesia sudah mengkaji strategi tersebut, sehingga sebagian dana hasil cukai rokok dipakai untuk BPJS Kesehatan, terutama untuk mensubsidi mereka yang ada di kelompok ekonomi rendah.
“Tapi masih terhambat di payung hukum, sehingga hanya pajak rokok daerah yang bisa digunakan pemerintah daerah. Alokasinya yang tadinya 50 persen untuk kesehatan dan sektor lain, dari 50 persen kesehatan itu 75 persen bisa dipakai untuk membiayai BPJS Kesehatan di level pemda,” ujarnya kepada KabarSDGs.
Menurut Nurul, kebijakan tersebut juga bisa memberikan insentif lebih kepada pemerintah yang saat ini membutuhkan kapasitas fiskal. Namun, untuk penyesuaian payung hukum terkait sin tax reform harus ada amandemen undang-undang cukai, sehingga perlu melibatkan DPR.
“Begitu hubungannya dengan DPR sifatnya jadi panjang dan kompleks lagi. Sebenarnya dari pemerintah eksekutif (kementerian) intensnya sudah besar, tapi karena harus revisi UU, jadi harus melobi DPR lagi dan itu prosesnya panjang. Padahal UU cukai sudah harus direvisi karena lebih dari 10 tahun,” tuturnya.
Nurul menilai, sejumlah aturan UU cukai dapat menghambat upaya Indonesia menaikkan cukai rokok. Indonesia satu-satunya negara yang memiliki aturan batas maksimal tarif cukai, padahal negara-negara lain menaikan cukai sesuai kebutuhan dan perhitungan kementerian keuangannya.
WHO telah menetapkan standar cukai rokok 70 persen dari harga jual eceran, tapi UU Cukai di Indonesia hanya mampu mengatur batas maksimal 57 persen dari harga jual eceran. Sementara, rerata tarif cukai rokok di Indonesia masih berkisar 44,7 persen dari harga jual eceran.
“Cukai rokok adalah instrumen fiskal upaya menaikan harga rokok. Saat ini, kenaikan cukai rokok belum menunjukkan kenaikan harga yang membuat rokok tidak terjangkau atau mahal untuk pemuda,” ujar Nurul.
Analis Kebijakan Badan Koordinasi Fiskal Kementerian Keuangan Febri Pangestu menegaskan, pemerintah berupaya menurunkan prevalensi perokok anak. “Hingga hari ini, prevalensi perokok usia 10-18 tahun di Indonesia mencapai 9,1 persen meski target yang dicanangkan sebelumnya 5,4 persen,” ujarnya.
Pemerintah, menurut Febri, berupaya meningkatkan tarif cukai rokok sejak 2013. Upaya ini terbukti efektif mengurangi produksi rokok. “Pada 2019, ketika cukai rokok tidak dinaikkan, produksi rokok mengalami peningkatan dari tahun-tahun sebelumnya. Meski begitu, perlu diakui kegiatan menyatukan layer cukai rokok berat untuk dilaksanakan karena banyak dan beragam produsen rokok di Indonesia,” katanya.
Discussion about this post