JAKARTA, KabarSDGs – Indonesia perlu mengubah ketergantungan akan bahan bakar fosil dan beralih ke bahan bakar terbarukan. Secercah harapan muncul, karena Indonesia berpotensi memproduksi bahan bakar nabati berbasis sawit secara mandiri.
“Kita perlu meningkatkan kapasitas bahan bakar terbarukan dalam negeri campuran sekitar 23 persen di tahun 2025 dan harapannya dapat mencapai 31 persen pada 2050,” ujar Menteri Riset dan Teknologi (Menristek)/Kepala Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Bambang Brodjonegoro dalam siaran pers diterima KabarSDGs, Kamis (10/9).
Menurut Bambang, pemerintah berkomitmen kuat mendorong inovasi bahan bakar nabati biohidrocarbon sebagai solusi pemenuhan kebutuhan konsumsi bahan bakar nasional. Tercatat 1.790.000 barel per hari diproduksi sejak 2014.
Selain berperan dalam subtitusi impor, bahan bakar biohidrocarbon berbasis sawit juga memberi peluang pemberdayaan korporatisasi petani sawit dalam industrialisasi IVO (bahan baku biohidrocarbon). Kilang-kilang bahan bakar biohidrocarbon kecil terintegrasi dengan kebun sawit, sehingga kesejahteraan hidup petani meningkat.
Bambang menilai, bahan bakar biohidrocarbon berbasis sawit merupakan komoditas sumber daya alam tebarukan yang jumlahnya berlimpah di Indonesia. “Hari ini Indonesia dikenal sebagai negara terbesar penghasil dan pengekspor kelapa sawit, bersaing dengan Malaysia. Namun, permainan sudah berubah. Kita tidak boleh hanya sekadar ekspor. Diperlukan adanya penambahan nilai dari hasil produksi kelapa sawit,” tuturnya.
Keberhasilan Pertamina dan ITB menguji coba produksi Green Diesel D100 dari Refined Bleached Deodorized Palm Oil (RBDPO) kelapa sawit berkapasitas 1.000 barel per hari di Kilang Pertamina Dumai telah memberi secercah harapan. Indonesia bisa mandiri memproduksi energi terbarukan. Bahan bakar nabati berbasis sawit berpeluang membuat gerak perekonomian Indonesia lebih cepat, apalagi sektor energi memiliki peranan penting dan strategis bagi perekonomian nasional.
Karakteristik Green Diesel D100 berbeda dengan biodiesel di pasaran saat ini yang dikenal dengan istilah B20 atau B30. Bahan bakunya adalah 100 persen RBDPO, kemudian diolah memakai Katalis Merah Putih hasil pengembangan ITB dan Pertamina. Biohidrocarbon yang dihasilkan beroktan tinggi dengan karakteristik fisika dan kimia sama persis dengan solar yang diproduksi dari bahan bakar fosil. Pemakaian bahan bakar Green Diesel D100 pada kendaraan tidak menurunkan kinerja mesin atau menuntut modifikasi tertentu pada mesin.
Kini Indonesia siap belajar dari Brasil yang lebih dulu mengimplementasikan energi terbarukan. Selain memproduksi bahan bakar nabati berbasis tebu dalam skala komersial, Brasil berhasil membuat kebijakan penentuan harga tebu, gula, dan etanol. Indonesia berupaya mengadaptasi regulasi tersebut dalam penentuan harga sawit dan minyak sawit sebagai bahan bakar biohidrocarbon.
“Kesempatan luar biasa untuk bisa saling bertukar pengalaman dalam sektor pengolahan bahan bakar nabati yang nantikan dapat memberi keuntungan kedua negara. Tebu saat ini merupakan bahan baku energi yang sangat penting di Brasil, di bawah minyak bumi. Tebu dapat menghasilkan etanol untuk menggantikan 46 persen pemakaian bensin di Brasil,” ujar Duta Besar Brasil HE Jose Amir da Costa Dornelles.
Discussion about this post