YOGYAKARTA, KabarSDGs -– Desa Karangtengah, Imogiri wilayah Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), kini tampak hijau dengan pohon jambu mete dan beberapa jenis pohon lain. Jambu mete tak hanya memiliki nilai ekonomi berlipat tetapi juga menjaga keseimbangan lingkungan, termasuk potensi bencana hidrometeorologi.
Desa yang terletak di bagian selatan Kabupaten Bantul ini dahulu dikenal sebagai wilayah yang memiliki lahan kritis. Upaya penghijauan dilakukan salah satunya dengan membudidayakan tanaman yang sudah ada di wilayah itu, yaitu jambu mete. Penggiat lingkungan sekaligus Ketua Yayasan Royal Silk Fitriani Kuroda memulai upaya untuk memberdayakan warga setempat sejak 17 tahun lalu.
“Tidak ada satu pohon berdiri. Ini semua tidak ada pohon,” ujar Fitriani dalam keterangan tertulis yang diterima KabarSDGs, Senin (31/8/2020).
Para penggiat lain mencoba dengan mengembangkan sutera liar dari kokon yang dihasilkan ular gajah yang dikombinasikan dengan pohon jambu mete di lahan seluas 150 hektare. Ide sutera liar ini berawal saat konferensi tingkat dunia sutera liar yang diselenggarakan di Yogyakarta pada 2009.
Mereka pun berhasil dengan mengembangkan wilayah dengan jambu mete dan penghasil sutera emas atau golden silk. Sutera yang berasal dari kokon cikal bakal kupu-kupu gajah penghasil sutera berwarna emas satu-satunya di dunia.
“Kita ingin memberdayakan masyarakat, sekaligus untuk lingkungan. Idenya cultural-based environment and poverty,” tambahnya.
Ia mengatakan pada mulanya para penggiat membina petani setempat yang tidak mempunyai lahan.
Pencapaian sutera liar di Desa Karangtengah ini — kisah sukses dalam konteks sustainable development goals (SDGs) yang diakui Perserikatan Bangsa-Bangsa. Ini merupakan hasil karya yang sangat unik dari Indonesia.
“Waktu itu penduduk transmigrasi lokal posisinya lahan yang mudah longsor. Bagaimana kita memberikan edukasi mulai dari rumah mereka dengan menanam pohon mahogani atau jati. Yang semua bisa tumbuh besar dan menjadi pakan ulat sutera tersebut,” ungkapnya.
Di sisi lain, penghijauan wilayah dengan mayoritas pohon jambu mete dapat bermanfaat untuk mencegah bencana hidrometeorologi, seperti kekeringan, banjir dan longsor. Deputi Bidang Sistem dan Strategi Badan Nasional Penanggulangan Bencana Wisnu Widjaja berharap inisiatif seperti ini dapat mendorong sebagai suatu Gerakan.
“Masyarakat sejahtera di wilayah rawan bencana. Mereka lebih tangguh karena punya banyak pilihan. Ini selaras program kami. Mendorong kesejahteraan sehingga mengurangi risiko mereka,” ujar Wisnu.
Wisnu mengatakan, kegiatan seperti ini bermanfaat untuk lingkungan dan ini dapat mencegah bencana hidrometeorologi. Ini menjadi kolaborasi sangat bagus untuk program pengurangan risiko bencana (PRB) berbasis kesejahteraan.
Sementara itu, saat itu Fitri memulai dengan 45 KK (kepala keluarga). Namun dari sejumlah keluarga tersebut, lebih banyak keluarga terlibat, khususnya untuk mengerjakan lahan. Waktu itu satu keluarga mendapat satu hektar atau besar-kecil.
Sutera liar yang dihasilkan kokon sangat cocok dengan pohon jambu mete. Sedangkan tanaman lain, mangga atau pisang sulit untuk tumbuh di wilayah ini. Namun demikian, pohon jambu mete menjadi aset yang berharga.
Selain daunnya sebagai pakan ulat gajah yang berubah menjadi kokon, buah mete memiliki nilai ekonomi tambahan. Pemanfaatan buah dan biji mete dapat digunakan menjadi diversifikasi produk, seperti buah untuk jus, kripik dan abon, dan biji mete untuk makanan ringan.
Produksi Sutera Liar
Sutera liar yang dihasilkan kokon ini diolah dengan cara traditional. Melalui mesin pintal yang sudah lama dikenal di Jepang diterapkan oleh para pemintal. Mesin terbuat dengan teknik yang dikerjakan dengan alat berbahan kayu yang dilengkapi dinamo. Pengerjaan digerakkan dengan pengendalian tangan dan perasaan.
“Butuh satu tahun melatih untuk 22 orang. Mereka dilatih langsung dari Jepang. Alat asli dari Jepang,” ujar Fitri.
Fitri menjelaskan, dalam proses pembuatan benang dari kokon kosong, konsep berbeda sutera putih. Kekhususan sutera liar yakni pengolahan benang tanpa harus membunuh kokon. Ini berbeda dengan pengolahan sutera putih.
“Mereka menarik benang ingin setipis mungkin untuk sutera putih, lalu suteranya harus direbus untuk mendapatkan sutera tanpa cacat,” jelasnya.
Terkait dengan berat benang, Fitri mengatakan 1 kg kokon akan menghasilkan setengah kilogram benang. Gambarannya kain 1 meter membutuhkan sekitar 250 gram benang.
Kokon sudah dimanfaatkan untuk berbagai produk, selain diambil suteranya, kokon digunakan untuk penghias barang kerajinan lain.
Discussion about this post