JAKARTA, KabarSDGs — Indonesia seperti negara-negara di ASEAN lainnya rawan dari ancaman serangan siber. Kondisi ini diperparah lagi sebagian besar perusahaan atau industri di Indonesia menggunakan perangkat lunak tidak berlisensi.
“Apalagi di masa pandemi COVID-19, penggunaan aplikasi video meeting dan telemedicine melonjak drastis yang secara kasat mata sagat rawan terjadi kebocoran dan pencurian data,” jelas Staf Ahli Menteri Kominfo Henri Subiakto saat Kampanye BSA Legalize and Protect, di Jakarta, Selasa (25/8/2020).
Menurut dia, pelonjakan aktivitas siber ini harus diiringi dengan literasi digital yang baik agar masyrakat dapat lebih bijak dalam menjalankan aktivitasnya menggunakan perangkat digital. Disinilah pentingnya literasi cyber security agar masyarakat terlebih lagi perusahaan atau industri tidak dirugikan aakibat datanya diretas penjahat siver.
Selain faktor internal, kata Henri, seperti kurangnya pemahaman masyarakat terhadap risiko, kebocoran data ini dapat disebabkan oleh faktor eksternal seperti serangan dari peretas. Banyak alasan yang melandasi peretasan data pribadi ini, seperti profit pribadi dan organisasi mereka, analisis data atau data mining, hingga politik. Selain itu, belum adanya regulasi yang melindungi masyarakat dan perusahan di Indonesia juga memperburuk keadaan.
Pencurian data ini tidak hanya menyerang pihak pribadi, namun juga perusahaan. Pengiriman data perkantoran yang saat ini cenderung dilakukan lewat perangkat pribadi. Sebab, sistem keamanannya bisa jadi berbeda dengan perangkat yang tersedia di perkantoran. Selain itu, penggunaan aplikasi dan perangkat lunak yang illegal juga menyebabkan data perusahaan mudah terkena virus atau malware.
“Perusahaan yang terkena peretasan data pribadi dapat berdampak kepada legal liability, reputasi bisnis, hingga hilangnya produktivitas akibat terhambatnya kinerja perusahaan atau pencurian ide oleh pihak peretas,” ujar Henri.
Sementara itu, Tarun Sawney, Senior Director BSA menyatakan sebagian besar perusahaan di Indonesia berisiko tinggi dan rentan terhadap serangan siber.
“Saat ini BSA — lembaga advokasi industri perangkat lunak global, tengah menyiapkan kampanye Legalize and Protect dengan inisiatif ASEAN Safeguard, yang menawarkan konsultasi gratis kepada 40.000 perusahaan di seluruh Vietnam, Indonesia, Thailand, dan Filipina,” kta Henri.
Dia menyebut, perusahaan-perusahaan yang dijangkau oleh BSA telah teridentifikasi berisiko tinggi dan rentan terhadap serangan siber, dan ASEAN Safeguard didesain untuk membantu mereka dalam proses menuju legalisasi perangkat lunak secara penuh.
“Data dari anggota BSA seperti IBM dan McAfee menunjukkan ancaman keamanan siber diperparah dengan luasnya penggunaan perangkat lunak tidak berlisensi di Asia Tenggara, yang sering mengandung malware atau memiliki keamanan yang rentan dan membuat perangkat mudah untuk diserang,” ujar Henri. PULINA NITYAKANTI PRAMESI
Discussion about this post