JAKARTA, KabarSDGs – Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs) diprediksi bakal terhambat akibat Pandemi COVID-19. Pandemi, membuat kondisi perekonomian memburuk. Beberapa negara di dunia bahkan terancam mengalami resesi.
Menurut Ketua Badan Pengawas Yayasan Tahija George Tahija, ada beberapa hal yang mungkin bisa sedikit meringankan keterpurukan perekonomian suatu negara. Salah satunya, melalui kegiatan filantropis.
Filantopi merupakan kegiatan yang mempromosikan tujuan baik dan memperjuangkan kesejahteraan orang lain dengan tak hanya dengan menyumbangkan uang, namun juga waktu. Para filantropis menantang status quo yang ada di dunia ini dan melakukan suatu inovasi yang bertujuan untuk merubah dunia menjadi lebih baik.
Charity Aid Foundation mendefinisikan filantropi sebagai tindakan untuk membantu orang yang tak dikenal, memberikan donasi, dan melakukan kegiatan sukarela. “Intinya, filantropi adalah segala jenis kegiatan yang mencoba memberikan yang terbaik bagi masyarakat,” kata Ketua Badan Pengurus Yayasan Tahija Trihadi Saptoadi, baru-baru ini.
Menurutnya, ada dua jenis kegiatan filantropi, yaitu filantropi tradisional dan filantropi ventura. Kegiatan filantropi tradisional cenderung lebih terukur proses dan hasilnya, biasanya dalam bentuk pemberian donasi. Berbeda dengan kegiatan filantropi ventura yang fokusnya pada kegiatan eksperimen, riset, inovasi, dan pendekatan baru lainnya atas permasalahan sosial.
Tingginya risiko dari kegiatan filantropi ventura, kata Trihadi, diiringi dengan tingginya dampak perubahan yang akan terjadi di masyarakat jika kegiatan tersebut berhasil. Dalam kegiatan filantropi ventura, para filantropis juga dipastikan terlibat langsung dalam setiap programnya, berbeda dengan kegiatan filantropi tradisional yang cenderung hanya menunggu hasil dari program yang didanai.
“Kontribusi dalam kegiatan filantropi ventura ini juga tak hanya sekadar pendanaan, namun juga human capital seperti ilmu, teknologi, manajemen, skill, dan jaringan,” ujar dia.
Kegiatan filantropi, lanjut Trihadi, juga berbeda dengan donasi atau sumbangan yang sering dilakukan. “Kegiatan filantropi pasti ada donasi, karena donasi itu bagian dari filantropi. Tapi, kegiatan filantropi juga melihat hasilnya, tidak hanya sekadar memberi bantuan saja.”

Filantropi juga berbeda dengan CSR perusahaan, walaupun kegiatannya bersinggungan. CSR perusahaan harus searah dengan tujuan pemilik saham dan strategi perusahaan. Namun, filantropi yang independent dapat memilih tindakan apa saja yang terbaik untuk masyarakat, tanpa memperhatikan pandangan pemilik saham.
Menurut Trihadi, Pembangunan Berkelanjutan juga membutuhkan peran para filantropis agar tujuannya dapat terlaksana dengan baik. Aktor kunci lainnya adalah pemerintah, akademisi, serta masyarakat dan media massa. “Hubungan antar aktor juga harus berlandaskan kepercayaan yang kuat, kerjasama yang setara, partisipasi, pertanggungjawaban, dan pemberian solusi terbaik,”kata dia.
Selain itu, untuk membentuk kegiatan filantropis yang berkelanjutan dibutuhkan bukti, legasi, serta dampak yang jelas. Dukungan masyarakat dan pemangku kepentingan di daerah tersebut juga tak kalah penting. Tidak harus pula membutuhkan uang yang banyak, walau dana jangka panjang perannya tetap penting. “Intinya kan membantu orang lain, memberi donasi, dan memberikan waktunya untuk membuat suatu perubahan,” kata Trihadi.
Dia mengatakan, saat ini sudah terdapat beberapa regulasi perihal kegiatan filantropi di Indonesia, salah satunya adalah UU nomor 36 tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan. Namun, aturan tersebut belum mengatur perihal cara mengakses insentif tersebut secara transparan.
Untuk mempertahankan kegiatan filantropi yang berkelanjutan, diharapkan kedepannya terdapat aturan yang dapat menempatkan para filantropis sebagai partner yang setara dalam pembangunan Indonesia. (PULINA NITYAKANTI PRAMESI)
Discussion about this post