JAKARTA, KabarSDGs — Masyarakat diimbau bisa mempelajari bahasa isyarat. Sebab, selama ini terjadi ketimpangan antara orang dengar dan tuli terhadap akses informasi dan komunikasi.
“Sejak dulu penyandang tuli tidak pernah mendapatkan informasi yang cukup ketika terjadi bencana alam di Indonesia. Namun munculnya pandemi COVID-19, menyadarkan pemerintah akan perlunya pemenuhan informasi terhadap penyandang tuli,” jelas Laura Lesmana Wijaya, Ketua Pusat Bahasa Isyarat Indonesia, saat berdialog melalui ruang digital di Media Center Satuan Tugas Penanganan COVID-19, Jakarta, Sabtu, (8/8/2020).
Menurut dia, sebenarnya kendala yang dihadapi orang dengar dan tuli itu sama, yang membedakan adalah masalah pada pemberian akses komunikasi itu sendiri.
Untuk membantu penyandang tuli di masa pandemi COVID-19 ini, Laura beranggapan perlunya seluruh masyarakat harus memiliki kemauan untuk mempelajari bahasa isyarat. Hal ini dikarenakan penyandang tuli hanya akan mendapatkan informasi apabila terdapat akses komunikasi berupa juru bahasa isyarat.
Pada kasus pemberian bantuan sosial, ujar Laura, sebagian penyandang tuli telah mendaftarkan dirinya ke Kementerian Sosial dan mendapatkan bantuan tersebut. Namun sebagiannya lagi tidak memberikan data yang lengkap, sehingga bantuan tidak dapat diberikan.
“Sebelum mendaftar, tentu (penyandang) tuli itu perlu mendapatkan informasinya dulu, bagaimana caranya mendaftar. Supaya dia tahu caranya mendaftar ke kementerian terkait, tentu harus ada akses informasi yang diberikan yang sesuai dengan kebutuhan,” jelas Laura.
Ia menyampaikan dampak pandemi COVID-19 bagi penyandang tuli. Dampak positifnya adalah pemerintah dan masyarakat kini mulai memberikan perhatian lebih kepada penyandang tuli dengan menyediakan layanan juru bahasa isyarat, seperti yang dilakukan Satuan Tugas Penanganan COVID-19 dalam konferensi pers.
Kendati demikian, jelas dia, tetap terdapat dampak negatif bagi anak-anak penyandang tuli yang masih bersekolah. Pandemi ini mengharuskan pemerintah menutup tempat-tempat umum, termasuk sekolah bagi penyandang tuli. Kemudian anak-anak penyandang tuli pun diarahkan untuk tetap berada di rumah.
“Sedangkan komunikasi dengan orang tua mereka tidak bisa dilakukan secara maksimal. Karena biasanya orang tua mereka adalah orang tua yang bisa mendengar dan belum sepenuhnya tahu cara berkomunikasi dengan anak mereka, sehingga anak (penyandang) tuli pun tidak merasakan adanya kenyamanan,” imbuhnya mengenai dampak negatif bagi anak penyandang tuli.
Menanggapi hal tersebut, Laura menerangkan bahwa proses mempelajari bahasa isyarat harus dilakukan secara terus-menerus. Maka orang tua penyandang tuli dapat mempelajarinya pada kelas bahasa isyarat dan mempraktekkan di rumah dengan anak secara rutin.
“Itu akhirnya akan membuka pintu komunikasi antara orang tua dengan anak-anak,” ucapnya.
Kemudian mengenai pemenuhan hak-hak bagi penyandang tuli, Laura berharap penyediaan layanan juru bahasa isyarat tidak hanya diberikan di masa pandemi COVID-19 saja, melainkan dilakukan secara berkelanjutan untuk ke depannya.
Discussion about this post