JAKARTA,KabarSDGs — Peraturan hukum mengenai pengelolaan dana corporate social responsibility (CSR) selama ini dinilai tidak jelas. Hal ini menyebabkan pemahaman para pelaku usaha salah dalam menyisihkan dana tersebut banyak yang salah kaprah.
“Kalau kita lihat peraturan pemerintah (PP) juga masih sangat minim sehingga selain perusahaan seakan tidak ada kewajiban menyisihkan dana CSR, tapi juga seringkali perusahaan bingung sendiri dalam pengelolaan,” jelas Managing Partner Novirianti & Partners Law Firm Dewi Novirianti dalam webinar, Sabtu (18/7).
Menurutnya, seharusnya Undang-undang (UU) ada PP, yang bisa menjelaskan lebih jelas, tapi PP-nya saja yang ada tidak jelas. Akibatnya, bentuk dan wujud CSR yang diimplementasikan para pelaku usaha tidak sesuai dengan UU.
“Salah kaprahnya, para pelaku usaha juga memandang CSR sebagai kegiatan sukarela atau charity dengan cara membagi-bagikan sembako,” jelas Dewi.
Dia menilai, banyak perusahaan yang membuat CSR menjadi etalase untuk pencitraan. Bahkan ada pula pemerintah daerah (Pemda) yang menganggap program CSR dapat dimasukkan ke APBD. Konsep demikian benar-benar tidak tepat. Karena itu, sejak awal perusahaan harus memiliki konsep mengenai CSR.
Padahal, katanya, beberapa lembaga baik internasional maupun nasional telah menetapkan petunjuk dalam melaksanakan CSR.
Dia menyebut lembaga global seperti World Bank yang banyak mendanai pembangunan seperti bendungan, jalan, dan perumahan bagi masyarakat miskin menganggap CSR sebagai komitmen bisnis yang dikontribusikan untuk pengembangan ekonomi berkelanjutan.
Konsep tersebut, kata Dewi, harus bisa diterapkan untuk merespons kebutuhan pekerja atau komunitas lokal dan masyarakat secara luas agar kualitas hidup mereka meningkat. Yang pada akhirnya tidak saja membuat bisnis korporasi menjadi lebih baik tetapi juga masyarakat lokalnya.
Dewi menjelaskan, secara karakter esensi dari CSR merupakan keinginan korporasi untuk mempertimbangkan aspek sosial dan lingkungan di dalam proses pengambilan keputusan dan pertanggung jawaban terhadap dampak yang terjadi di masyarakat dan lingkungan.
“Prinsip utamanya, perusahaan dapat menerapkan CSR sesuai norma-norma internasional (legal compliance) di antaranya penegakan hak asasi manusia (HAM), anak disabilitas, dan hak-hak perempuan,” katanya.
Di tingkat internasional pelaksanaan mengenai CSR diatur melalui ISO 2600 dan seluruh negara dan korporasi seharusnya merujuk dan mematuhi petunjuk ISO yang dikeluarkan pada 2010 silam tersebut.
ISO 2600 juga memerintahkan korporasi untuk menerapkan CSR secara konsisten dan tidak bertentangan dengan perangkat internasioanl dan standardisasi ISO lainnya. Termasuk tidak mengurangi otoritas pemerintah dalam menjalankan tanggung jawab sosial organisasi.
Permen BUMN
Senior Lawyer Lawyer at Novirianti & Partners Law Firm Bangun Wijayanti menjelaskan, aturan hukum CSR di tingkat nasional berinduk pada UU No. 40/2007 yang di dalamnya kemudian diatur mengenai tanggung jawab sosial dan lingkungan. Sedangkan perusahaan yang merupakan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) diatur khusus di UU No. 19/ 2003 yang pelaksanannya diatur melalui Peraturan Menteri BUMN Nomor Per-07/MBU/ 05/2015.
“Jadi induknya ada dua untuk perseroan secara umum mengacu pada UU No. 40/2007 dan BUMN merujuk kepada UU No. 19/2003 yang juga berinduk pada UU PT,” kata Wijayanti.
Menurut Wijayanti, Pasal 74 UU PT mengatur mengenai kewajiban perseroan untuk melaksanakan tanggung sosial lingkungan khususnya bagi perusahaan-perusahaan yang aktivitas usahanya berkaitan dengan sumber daya alam (SDA) atau perusahaan yang kegiatannya berdampak terhadap SDA.
Namun ia menilai UU PT tersebut tidak jelas karena tidak menyebutkan secara lengkap kriteria perusahaan yang wajib melaksanakan CSR. Hanya menyebutkan secara umum perseroan yang melakukan kegiatan usaha di bidang SDA dan yang terkait dengan SDA.
Secara spesifik, peraturan pelaksanaan mengenai pelaksanaan tanggung sosial dan lingkungan perusahaan (TJSLP) atau CSR ini diatur di dalam PP No 47/2012. Intinya, bahwa kewajiban melaksanakan CSR merupakan keputusan internal dari PT itu sendiri. Namun demikian tidak disebutkan persentase mengenai besaran dana yang wajib dialokasikan untuk CSR.
Discussion about this post