JAKARTA, KabarSDGs — Wabah penyakit dan pandemi bukan pertama kalinya dihadapi oleh Bangsa Indonesia. Sebelumnya, pada 2005 silam tercatat ada sekitar 200 kasus penularan flu burung yang menginfeksi manusia terjadi di Indonesia dan kurang dari 1.000 kasus di dunia.
Ketua Komite Nasional Pengendalian Flu Burung Pandemi Influenza (Komnas FBPI) 2005-2009 Bayu Krisnamurthi menyatakan dampak dari wabah flu burung yang terjadi sekitar tahun 2005 jauh lebih ringan jika dibandingkan COVID-19 yang saat ini dihadapi Indonesia.
“Kalau dibandingkan dengan COVID-19 terus terang saja saya harus mengatakan flu burung itu enggak ada apa-apanya,” kata Bayu pada dialog Media Center Gugus Tugas Nasional di Graha BNPB, Jumat (10/7/2020).
Bayu mengatakan yang mengerikan dari flu burung adalah angka kematian (fatality rate) yang sangat tinggi. Angka kematian di dunia sebesar 60 persen, sementara di Indonesia mencapai 80 persen.
Bayu menceritakan, dalam penanganan penyakit flu burung pemerintah Indonesia mengambil langkah cepat dengan membentuk Komnas FBPI sejak awal terdeteksinya flu burung di Indonesia. Komnas FBPI kemudian melancarkan strategi yang akhirnya dapat meredam dampak wabah flu burung saat itu.
“Kita menangani penyakitnya, dampak sosial-ekonominya, dan komunikasi publiknya itu dalam porsi yang sama besar,” ujar Bayu.
Saat menangani penyakitnya, Komnas FBPI melibatkan seluruh ilmuan yang ada. Hal tersebut dikarenakan wabah flu burung sesuatu yang baru pada saat itu.
Bicara mengenai dampak ekonomi, dalam penanganan kasus flu burung, unggas yang berpotensi terinfeksi harus dimusnahkan dengan cara dibakar. Padahal di sisi lain ayam dan unggas lainnya memiliki nilai ekonomi yang tinggi bagi masyarakat.
Sementara pada porsi komunikasi publik yang dilakukan pemerintah yakni menjangkau masyarakat dengan komunikasi yang tidak putus-putus dengan komunikasi yang kreatif.
“Komunikasi yang membuat mereka bukan hanya takut, tapi juga kita siaga, jelas Bayu.
Karena itu, katanya, pentingnya menitikberatkan strategi komunikasi yang perlu disusun dengan baik agar pemenuhan informasi kepada masyarakat dapat diterapkan.
“Strategi komunikasi ini kita susun dengan baik, strategis, komprehensif, multilevel, multimedia. Masyarakat sekarang membutuhkan informasi, kalau tidak diisi mereka akan cari, jadi penuhi dengan informasi yang benar,” ucap Bayu.
Dirjen Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan (P2PL) Kementerian Kesehatan 2004-2009 I Nyoman Kandun mengingatkan masyarakat untuk mematuhi protokol kesehatan untuk mencegah penularan COVID-19.
Ia juga menjelaskan kerjasama lintas sektor yang sinergis sangat diperlukan agar langkah penanganan penyebaran virus dapat terlaksana dengan efektif.
“Kerja sama antar lintas sektor, lintas program bahkan lintas negara sangat penting sekali, karena penyakit menular tidak mengenal wilayah secara administratif,” ujar Nyoman.
Kepercayaan Masyarakat
Mantan Duta Tanggap Flu Burung 2006 – 2009, yang kini jadi anggota DPR R Muhammad Farhan menjelaskan tantangan dalam melakukan komunikasi publik pada saat itu berbeda dengan masa pandemi COVID-19 saat ini. Perbedaan utamanya perubahan persepsi masyarakat dan pilihan media yang digunakan.
Flu burung berhasil dimengerti oleh masyarakat karena pada waktu itu media yang mempengaruhi pola pikir dan persepsi masyarakat jauh lebih sederhana. Belum ada media sosial dan perluasan penggunaan internet yang mempengaruhi keputusan orang.
“Tantangan jauh lebih besar, selain magnitudo dari COVID jauh lebih besar dari Flu Burung, terjadi perubahan persepsi publik terhadap informasi yang dilihat serta pilihan media yang digunakan,” Jelas Farhan melalui media daring.
Pelajaran utama dari komunikasi publik penanganan flu burung di Indonesia yakni tantangan yang dihadapi pada masa itu, tingkat kepercayaan masyarakat terhadap fakta dari penyebaran virus. Apa yang terjadi di masa lalu bisa menjadi pelajaran berharga guna membantu penanganan pandemi COVID-19.my
Discussion about this post