JAKARTA, KabarSDGs – Pusat Kajian Jaminan Sosial Universitas Indonesia (PKJS-UI) dan Fatayat NU mendesak pengendalian konsumsi rokok pada masa new normal. Salah satu langkah bisa dilakukan melalui kenaikan dan simplifikasi cukai hasil tembakau.
Ketua PKJS-UI Aryana Satrya mengatakan, dibutuhkan kebijakan pengendalian tembakau kuat dan berdampak untuk mewujudkan perlindungan anak. Ia berharap pemerintah membuat harga rokok semakin tidak terjangkau anak-anak.
Berdasarkan survei PKJS-UI terhadap 1.000 responden pada 2018, tercatat 88 persen mendukung kenaikan harga untuk mencegah anak membeli rokok. Selain menjauhkan anak dari keterjangkauan rokok, langkah ini dinilai bisa menyehatkan kantong belanja keluarga.
“Perilaku merokok menimbulkan pergeseran konsumsi. Uang yang dapat dibelikan makanan digunakan untuk membeli rokok oleh masyarakat miskin, sehingga nutrisi tidak tercukupi dan akhirnya menimbulkan stunting pada anak,” ujar Aryana dalam siaran pers diterima KabarSDGs, Senin (28/7).
Desakan diutarakan dalam rangka Hari Anak Nasional (HAN) 2020 yang diperingati pada 23 Juli. Undang-Undang Dasar (UUD) tahun 1945 Pasal 28B Ayat (2) mengamanatkan negara menjamin hak setiap anak atas kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang. Namun, konsumsi rokok telah membuat anak-anak tidak dapat tumbuh optimal.
Data Riset Kesehatan Dasar Kementerian Kesehatan pada 2018 menunjukkan perokok kelompok usia 10-18 tahun meningkat dari 7,2 persen (2013) menjadi 9,1 persen. Angka ini jauh dari target Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2019. Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional menargetkan 5,4 persen.
Hasil studi PKJS-UI pada 2018 menunjukkan anak-anak dari orangtua perokok kronis memiliki pertumbuhan berat badan lebih rendah 1,5 kg. Pertumbuhan tinggi badan mereka juga lebih rendah 0,34 cm. Dampak kejadian stunting ini juga memengaruhi inteligensi anak.
Pendekatan keluarga juga perlu dilakukan dalam pengendalian konsumsi rokok. Fatayat NU berinisiatif menciptakan lingkungan tanpa asap rokok di rumah. Hasil Global Youth Tobacco Survey 2019 menunjukkan 57,8 persen pelajar terpapar asap rokok di rumah, sedangkan untuk orang dewasa mencapai 78,4 persen.
Fatayat NU menyadari anggota keluarga -terutama anak-anak dan perempuan- berhak mendapatkan lingkungan sehat tanpa asap rokok. “Beberapa perempuan anggota Fatayat NU sudah menjadikan rumah mereka kawasan tanpa rokok. Termasuk di dalamnya tidak ada orang yang merokok, tidak tersedia asbak, tidak tercium asap rokok, tidak ada tempat khusus merokok, dan terdapat tanda dilarang merokok berupa stiker sebagai peringatan tidak merokok di area rumah,” ujar Ketua Umum Fatayat NU Anggia Ermarini.
Anggia menambahkan new normal bisa menjadi momentum pengendalian konsumsi rokok. Menurut dia, jumlah konsumsi rokok menurun selama pandemi virus corona baru (COVID-19). Beberapa suami kader Fatayat NU menyebutkan dengan mengurangi konsumsi rokok membantu dalam memenuhi kebutuhan primer.
“Yang sebelumnya uang untuk membeli rokok dapat dibelikan makanan/kebutuhan pokok lainnya,” tuturnya.
Discussion about this post