JAKARTA, KabarSDGs — Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) RI melakukan survei terkait penerapan belajar dari rumah selama pandemi virus corona baru (COVID-19). Hampir 90 persen orangtua mendampingi anaknya belajar.
Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan dan Perbukuan (Kabalitbang dan Perbukuan) Totok Suprayitno menyampaikan, hasil survei menunjukkan orangtua memiliki peran cukup sentral dalam pelaksanaan belajar dari rumah. “Saya kira ini hal positif, ketika orangtua tergerak mendampingi anaknya. Meskipun ada keluhan menonjol, di antaranya orangtua tidak paham materi ajar,” ujarnya pada rapat kerja bersama anggota Komisi X DPR RI, melalui telekonferensi di Jakarta, Senin (22/06).
Kemendikbud melakukan survei secara dalam jaringan (daring), 18 Mei-2 Juni. Sebanyak 38.109 siswa dan 46.547 orangtua pada seluruh jenjang pendidikan di Indonesia menjadi responden. Sebelumnya, Kemendikbud juga bekerja sama dengan UNICEF melakukan survei melalui pesan singkat (SMS) gratis terhadap 1.098 siswa dan 602 orangtua, terutama yang tinggal di daerah terdepan, terluar, dan tertinggal (3T).
Hasil survei menunjukkan 96,6 persen siswa belajar sepenuhnya dari rumah, sementara 3,3 persen siswa belajar bergantian di rumah dan di sekolah. Sebaliknya, 0,1 persen siswa masih belajar penuh di sekolah karena tidak ada yang mendampingi belajar dari rumah. Siswa-siswa tersebut berdomisili di wilayah 3T yang tidak terdampak COVID-19.
Menurut Totok, jaringan internet tidak memadai menjadi salah satu alasan sejumlah siswa belajar dari rumah dan di sekolah secara bergantian. Hasil survei juga menunjukkan siswa mengalami kesulitan memahami materi pembelajaran.
Totok menyebutkan, masih banyak guru hanya memberi penugasan mengerjakan soal-soal saja. Hal tersebut dikhawatirkan membuat anak kehilangan konsep inti dari kurikulum yang seharusnya dikuasai lebih dulu.
Jika dilihat dari cara siswa belajar, sebagian besar belajar dengan mengerjakan soal dari guru, sedangkan kurang dari 40 persen melakukan pembelajaran interaktif . Namun, lanjut Totok, cukup banyak siswa memanfaatkan belajar melalui televisi, buku, maupun sumber belajar lainnya.
Karenanya, menurut Totok, Kemendikbud akan menyediakan modul-modul untuk memudahkan anak yang terpaksa belajar sendiri atau minim panduan dari guru. Modul-modul dibuat menarik sehingga bisa mengurangi kebosanan anak. “Ini tentunya bukan satu-satunya solusi, tapi bagian dari upaya membantu anak bisa belajar,” ujarnya.
“Pendekatannya project-based learning atau activity-based learning. Harapannya pendekatan tersebut lebih memandu anak agar tidak memahami konsep sebatas yang tertuang di buku, tapi dapat memandu anak belajar dan memahaminya lebih mendalam. Modul dibuat baik untuk belajar daring maupun luar jaringan (luring),” tambah Totok.
Sementara itu, khusus wilayah 3T atau yang tidak terjangkau internet, Kemendikbud bekerja sama dengan berbagai pihak untuk pendistribusian modul-modul cetak. Dengan begitu, siswa belajar dari rumah secara maksimal.
Totok pun mengkhawatirkan kemungkinan melebarnya kesenjangan hasil belajar antarsiswa. Anak-anak dari keluarga miskin merupakan kelompok paling rentan, sehingga kemungkinan kehilangan pengalaman belajar. Karenanya, Kemendikbud mendorong setiap guru melakukan asesmen awal bagi siswa-siswinya di masa tahun ajaran baru. Dengan begitu, guru mengetahui kondisi dan kemampuan belajar setiap siswa setelah masa belajar dari rumah.
Hal itu penting agar bisa memitigasi melebarnya kesenjangan kemampuan siswa, khususnya antarkelompok sosial ekonomi, maupun antardaerah. “Guru perlu mengajar pada level kemampuan anaknya, bukan sesuai dengan tuntutan kurikulum. Perhatian khusus perlu diberikan kepada anak-anak yg paling tertinggal. Panduan dan instrumennya sedang kami siapkan agar bisa digunakan guru dalam melakukan asesmen,” ujar Totok.
Discussion about this post