Oleh:
Metha Madonna
Saat ini telah terjadi pergeseran paradigma penyuluhan pembangunan termasuk keberadaan praktisi penyuluh di dalamnya. Penyuluhan sebagai sebuah keilmuan yang tidak akan lepas atau terbelenggu dari indentifikasi pembangunan pertanian, namun pada perkembangannya penyuluhan menjadi bagian penting di seluruh sektor pembangunan diantaranya kesehatan, ekonomi, hukum, politik dan sebagainya.
Barangkali sejumlah gejala perubahan paradigma tersebut tidak begitu dirasakan atau bahkan dianggap biasa saja oleh akademisi maupun praktisi penyuluhan pembangunan. Namun sesungguhnya perubahan ini terasa sangat fundamental dan bukan sekadar menggeser penyuluhan sebagai bagian pengembangan sektor lain. Sebaliknya secara keilmuan semakin memantapkan hakikat penyuluhan sebagai bagian dari ilmu komunikasi. Bahkan penyuluhan bukan sekadar dalam bingkai mempelajari interaksi, pesan dan umpan balik dalam sebuah proses komunikasi, namun lebih jauh dari situ terjadi perubahan perilaku.
Berikutnya akan dipaparkan argumentasi mengenai perubahan paradigma dari penyuluhan pembangunan pertanian dan penyuluh sebagai relawan dan pengabdi masyarakat yang kini mengalami perubahan fundamental keilmuan yaitu paradigma komunikasi penyuluhan dan perubahan profesi penyuluh yang menjungjung profesionalitas dan kapabelitas.
Ditinjau secara ontologi paradigma masa lalu tentang penyuluhan pada hakikatnya diasosiasikan dengan penerangan atau propaganda oleh masyarakat luas, penyuluhan dapat dipandang sebagai sebuah ilmu dan tindakan praktis. Pondasi ilmiah penyuluhan adalah ilmu tentang perilaku (behavioural science). Terdapat pola pikir, tindakan, dan sikap manusia dalam menghadapi kehidupan.Jadi subyek telaah ilmu penyuluhan adalah manusia sebagai bagian dari sebuah sistem sosial, obyek materi ilmu penyuluhan adalah perilaku yang dihasilkan dari proses pendidikan dan atau pembelajaran, proses komunikasi dan sosial (Amanah, 2007 ).
Selanjutnya dalam sudut pandang epistemologi penyuluhan pada masa lalu realitanya diterapkan di sektor pertanian dimulai pada 1910 yang didirikan oleh Dinas Penyuluhan Pertanian (Landbouw Voorlichtings Dienst-LDV) dalam Departemen Pertanian. Sedangkan di daerah itu termasuk bagian dari Pangreh Praja. Kemudian para petugas penasihat pertanian (1908) diganti menjadi Landbouw Consulen dan Landbouw Consulent.
Para penyuluh bisa berhubungan langsung dengan para petani dan itu atas dasar pendidikan dan kesukarelaan. Lalu pada 1921, LDV dilepas dari Pangreh Praja dan dijadikan Dinas Daerah Provinsi karena hasil nyata yang sudah dicapai. Maka sejak itu para petugas Dinas Penyuluhan berdiri sendiri dan bertanggungjawab kepada Departemen Pertanian disamping tetap bertindak sebagai penasihat Pangreh Praja. LDV menangani penyuluhan tanaman pangan, perkebunan serta ikut dalam bidang perkreditan (Syufri, 2011).
Realita penyuluhan di era orde baru diterapkannya sistem kerja latihan dan kunjungan (Laku) sebagai salah satu sistem pengawasan dalam rangkaian penyuluhan program intensifikasi padi serta swasemda beras. Diperkenalkan dan diterapkan pertama kali melalui Surat Keputusan Menteri Pertanian RI Nomor 240/Kpt/Um/4/1972. Maka sistem ini dijadikan sebagai sistem kerja operasional penyuluhan pertanian tanaman pangan, perkebunan, perikanan dan peternakan. Namun selanjutnya tidak dikhususkan lagi pada komoditas padi sejak 1981 setelah dikomodifikasi menjadi sistem kerja lakon (Latihan kunjungan dan konsultasi) dan Lari (Latihan berorientasi inovasi) (Rahardian.A.H., 2016).
Kemudian paradigma penyuluhan pembangunan ditinjau secara aksiologis yaitu hasil atau dampak kegiatan pembangunan di masa lalu berupa kesuksesan Indonesia melakukan swasembada pangan bahkan mampu mengeskpor hasil pertanian ke manca negara. Penyuluhan telah berhasil mengantarkan petani untuk turut serta swasembada beras terutama setelah dintegrasikan dalam perencanaan program pembangunan nasional Pelita I, II dan III sebagai Agriculture Sustainable Programme yang pertama. Pelita IV tahun anggaran 1986/1987 para penyuluh menerima kerjasama dari Bank Dunia dalam bentuk National Agriculture Extension Programme (NAEP) sebagai kelanjutan mempertahankan swasembada beras pada 1984/1985 (Rahardian.A.H., 2016).
Berdasarkan ketiga pendekatan di atas dapat disimpulkan bahwa paradigma penyuluhan di masa lalu yaitu penerangan atau tindakan praktis mengubah perilaku (behavioural science). Penyuluhan pada masa lalu mampu mengintensifikasi padi dan swasembada pangan melalui serangkai sistem kerja dan kunjungan yang menyentuh langsung petani sehingga secara aksiologis nyata terjadi pembangunan nasional dalam program Pelita I, II dan III dan sukses melakukan swasembada pangan.
Paradigma Baru
Selanjutnya waktu terus berjalan dan terjadi banyak perubahan dalam tata kehidupan. Begitu juga secara keilmuan, penyuluhan pembangunan tidak lagi terpasung atau menjadi domain sektor pertanian dan perkebunan. Pada kenyataannya penyuluhan dan profesi penyuluh telah banyak dimanfaatkan oleh sektor-sektor lain guna mendukung terlaksananya program dan agenda masing-masing sektor seperti kesehatan, ekonomi, hukum, sosial dan sebagainya meskipun dengan istilah yang berbeda yaitu sosialisasi kebijakan atau promosi program.
Dalam tinjauan secara ontologis, perubahan paradigma penyuluhan pembangunan yang kian menguat identifikasi dan hakekatnya sebagai cabang ilmu komunikasi. Penyuluh bukan lagi sekadar sosialisasi mengenai sebuah program atau kebijakan, tapi secara signifikan mencakup komunikasi dan interaksi antara penyuluh dengan masyarakat dalam usaha pemberdayaan masyarakat. Pergeseran hakikat atau konseptual penyuluhan diikuti realita bahwa peran dan fungsi penyuluhan juga berlaku pada bidang penyuluhan lain.
Penyuluhan jadi bagian penting pada setiap instansi atau lembaga negara untuk melaksanakan penyebaran informasi monitoring sekaligus evaluasi. Informasi, monitoring, sekaligus evaluasi capaian program atau kebijakan. Adapun domain penyuluhan pembangunan tidak semata hanya di bidang primer saja yaitu pertanian, perikanan dan kehutanan akan tetapi dapat juga diperluas sampai pada bidang kesehatan, pembenahan lingkungan, dan masalah politik, sosial dan budaya (Amanah, 2007). Demikian realita yang terjadi di masa kini dalam tinjauan epistomologi keilmuan.
Pada akhirnya secara aksiologis dapat dibuktikan penyuluhan adalah bagian dari ilmu komunikasi yaitu dimana berlangsungnya proses komunikasi dan interaksi yang ujungnya diikuti dengan terjadinya perubahan tingkah laku di masyarakat. Selain itu, ada baiknya penyuluhan hendaknya tidak terkotak-kotak pada sektor atau komoditas tertentu, tapi lebih ditunjukan pada pengembangan mutu hidup manusia dan lingkungannya. Tidak dapat dipungkiri bahwa penyuluhan mempunyai peran penting di berbagai dimensi kehidupan manusia dan mencakup pendidikan, kesehatan, hukum, politik, agama dan lingkungan (Amanah, 2007).
Jadi, dapat disimpulkan bahwa paradigma baru penyuluhan pembangunan hakikatnya adalah sebuah cabang ilmu komunikasi, domain bidangnya tidak hanya sebatas bidang pertanian semata karena pada kenyataannya penyuluhan juga diterapkan di berbagai instansi dan lembaga negara. Dengan demikian komunikasi penyuluhan lebih menghasilkan pada peningkatan dan pengembangan mutu hidup manusia dan lingkungannya.
Tokoh penyuluhan modern yaitu Van den Ban and H.S. Hawkins (2003) tokoh yang memproklamirkan bahwa penyuluhan bukan sekadar sosialisasi program, tapi juga kegiatan komunikasi dan interaksi yang pada tujuannya menciptakan perubahan perilaku di masyarakat. Selanjutnya Totok Mardikanto (1991) di dalam sebuah proses komunikasi sedikitnya terkandung salah satu dari tiga macam tujuan komunikasi yang mencakup: 1). Infortmatif yaitu memberikan informasi, 2). Persuasive yaitu membujuk dan 3). Entertainment yaitu memberikan hiburan, meskipun kadarnya tidak harus selalu sama dikarenakan tujuan utama penyuluhan adalah mendidik (Sarma, 2007).
Profesionalitas Penyuluh
Perubahan paradigma penyuluhan yang sebelumnya menjadi domain pertanian di masa lalu dan kini menjadi bagian kajian komunikasi penyuluhan memang masih belum tereksploitasi fenomenanya. Konsekuensi sekaligus korelasi dari perubahan paradigma baru komunikasi penyuluhan berujung pada tuntutan atas profesionalitas penyuluh. Penyuluh bukan lagi dilakukan oleh para relawan atau sifatnya sambilan, tapi penyuluh merupakan sebuah profesi yang menuntut kompetensi dan kapabelitas yang dilengkapi dengan keterampilan dan kepakaran sesuai dengan bidang yang dituju.
Seperti yang disampaikan Pakar Penyuluhan Pembangunan Institut Pertanian Bogor (IPB) Prof. Sumardjo yang mengatakan untuk tingkat kinerja penyuluh pertanian di Tanah Air dalam memberdayakan petani relative masih belum baik dan hal ini disebabkan oleh berbagai faktor yang berpengaruh secara langsung terhadap kinerja penyuluh terutama terkait karakteristik sistem sosial yang mencakup nilai-nilai sosial budaya; fasilitasi, agribisnis oleh lembaga pemerintah serta akses petani terhadap kelembagaan agribisnis kemudian kompetensi penyuluh terkait kompetensi komunikasi, kompetensi penyuluh membelajarkan petani dan kompetensi penyuluh berinteraksi sosial masih masuk dalam ketegori cukup (Marliati, 2008). (Penulis adalah Pengamat Komunikasi Massa dan Penyuluhan dari Universitas Bhayangkara Jaya, serta Mahasiswi Program Studi Doktoral Komunikasi Pembangunan Peminatan Penyuluhan Fakultas Ekologi Manusia IPB)
Discussion about this post