Pandemi Covid-19 yang berlangsung di Indonesia sejak Maret 2020 hingga kini memberikan dampak, salah satunya pengangguran. Setidaknya, tak kurang 2,67 juta orang penganggur bertambah di Tanah Air. Tentunya, tingkat pengangguran sebesar 1,87 persen dalam kurun waktu kurang dari satu tahun ini sungguh memprihatinkan. Biro statistik mencatat 9,77 juta orang angkatan kerja menganggur. Angka ini sebanding dengan 7,07 persen dari total tenaga kerja sebanyak 138,2 juta orang.
Angka pengangguran juga diprediksi Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) bisa menyentuh 10,7 juta-12,7 juta orang di tahun 2021. Jika prediksi itu terjadi, dalam waktu relatif singkat, maka peningkatannya akan mementahkan penurunan pengangguran yang terjadi sebelum periode pandemi sekaligus melampaui rekor tertinggi selama satu dekade terakhir.
Terlepas dari jenis pengangguran dan lowongan yang tersedia, dilihat dari tingkat pendidikan ditemukan fakta mengejutkan, pengangguran saat ini didominasi lulusan Sekolah Menengah Kejuruan (SMK). Menurut statistik, berdasarkan proporsi tingkat pendidikan yang sudah ditamatkan dari 9,77 juta pengangguran terbuka, 13,55 persen lulusan SMK; 9,86 persen lulusan SMA; 8,08 persen lulusan Diploma;7, 35 persen lulusan universitas; 6,46 persen lulusan SMP; sisanya lulusan SD. Prosentase pengangguran lulusan SMK ini relatif besar karena biasanya lulusan SMK langsung bekerja dan tidak banyak melanjutkan perkuliahan sebagaimana lulusan SMA umum.
Padahal, semenjak era Orde Baru ketika Menteri Prof.Wardiman Djojonegoro sampai era Mas Menteri Nadiem, lulusan SMK dipersiapkan untuk menjadi tenaga handal dan siap pakai. Semestinya sistem pendidikan vokasi lebih memiliki kesempatan kerja dan mudah diserap oleh pasar ketenagakerjaan dibanding Pendidikan non-vokasi.
Ini membuktikan bahwa menghubungkan dan mencocokkan (link and match) antara pendidikan vokasi dan kebutuhan tenaga kerja masih rendah. Ditambah merebaknya Covid-19 membuat kualitas pendidikan di negeri ini semakin menurun.
Jika dilihat dari factsheet proporsi tingkat pengangguran di atas dapat membuktikan bahwa ada yang salah dengan sistem pendidikan kita saat ini. Hal ini juga tidak terlepas dari adanya sistem pembelajaran yang dilakukan tidak sebagaimana mestinya. Meski tidak seratus persen mempengaruhi, namun sistem pembelajaran digital melalui online atau dalam jaringan (daring) yang dilaksanakan ketika masa pandemi ini juga turut mempengaruhi penurunan kualitas pembelajaran.
Sebagai seorang pendidik, penulis berusaha mengobservasi kenyataan yang terjadi di lapangan dan memperhatikan keluhan dari masyarakat bahwa pembelajaran secara digital merepotkan bagi orangtua bahkan murid. Banyak dari mereka berkeluh-kesah bahwa guru atau dosen hanya memberikan tugas saja dan tidak memberikan pengajaran secara tatap muka (face-to-face) seperti laiknya kelas offline dan berjalan hanya satu arah saja.
Hampir keseluruhan pengajaran berbentuk tugas, melihat video atau materi di youtube, tanpa ada penjelasan dari dosen atau guru tersebut. Alasan dari pendidik ketika memberikan pengajaran juga terkadang normatif yakni tenaga pendidik tidak memiliki cukup kuota jika dilakukan melalui virtual conference seperti menggunakan console Zoom, Google Meet, Webex, Ms. Teamviewer ataupun yang lainnya. Padahal, pemerintah melalui beberapa internet provider sudah mengusahakan pemberian kuota internet kepada tenaga pendidik meskipun mungkin belum dirasa maksimal.
Kendala lain yaitu pengajar tidak paham cara menggunakan tools pengajaran daring dan bagaimana mengajar secara efektif pada kelas daring. Misalnya, melakukan pembukaan atau ice breaking untuk merangsang mahasiswa agar memiliki awareness dalam mengikuti pelajaran. Lalu membuat inovasi pembelajaran seperti menggunakan kuis online yang interaktif seperti aplikasi semisal EdPuzzle, Kahoot ataupun Quizzis dan atau penjelasan melalui video conference untuk mendiskusikan suatu kasus. Karena sedikit berbeda dengan pembelajaran offline atau luar jaringan (luring) dalam pembelajaran berbasis digital diperlukan proses Hook (memberikan umpan balik), Story (memberikan rangsangan melalui cerita ataupun diskusi), dan Visual Offer (menawarkan materi pembelajaran agar mudah diserap melalui konten visual yang interaktif).
Menyoroti isu besar pengangguran pada lulusan SMK, salah satu masalah yang terjadi pada pendidikan vokasi saat ini yaitu kehilangan jam praktek. Dalam vokasi, praktek hal utama daripada sekadar teori. Di masa pandemi, ketika praktek dilakukan melalui pembelajaran jarak jauh maka yang terjadi adalah kegagapan peserta didik ketika mengikuti pelajaran sebagaimana ketika dilakukan dengan cara tatap muka.
Tenaga pendidik memerlukan usaha lebih dalam menerangkan sesuatu secara detail atau sulit dijelaskan dengan menggunakan kamera. Semisal untuk gambar tertentu secara visual tampilan di kamera tampak besar dan memiliki warna yang gelap namun ketika secara fisik dilihat tampak kecil dan berwarna terang atau suara yang tiba-tiba tidak terdengar ketika berkomunikasi. Terkadang tempo atau kecepatan dari pengajaran juga mempengaruhi kualitas pembelajaran ini.
Siswa mudah bosan jika melihat pengajaran yang berulang dan sering mengalami kendala jaringan internet (lagging). Disamping kendala dari alat, sering juga siswa memiliki masalah dengan ruangan belajar. Dimana gangguan eksternal seperti bunyi-bunyian (glitch) ataupun suasana belajar di rumah yang tidak mendukung. Selain itu kemungkinan juga disebabkan kendala lainnya yang mungkin berkaitan dengan letak geografis versus jaringan internet serta penguasaan teknologi informasi (digital technology acquisition).
Saat ini pemerintah sudah memberikan kuota belajar bagi siswa dan pendidik, yang meski belum maksimal, namun sangat membantu bagi tenaga pendidik untuk melakukan pengajaran. Hal tersebut tentunya belum bisa menuntaskan kendala pembelajaran. Selaku pengajar, kita harus melakukan usaha Pendidikan ini dengan maksimal. Sesuai definisinya yang termaktub dalam UU Sisdiknas No.20 tahun 2003, pembelajaran haruslah berpusat pada siswa (Student Centered Learning). Dimana guru atau dosen sebagai tenaga pendidik haruslah dapat menciptakan lingkungan belajar dan berinteraksi dengan murid dengan cara memfasilitasi, memotivasi, memberi tutorial (diskusi) dan memberikan umpan balik.
Skill Gap
Mutu Pendidikan rendah akan menyebabkan kesenjangan keterampilan (skill gap) ketika memasuki dunia kerja. Berdasarkan penelitian Profesor Harvard University Lant Pritchett, tahun 2019 – 2020, kualitas pendidikan anak-anak di Jakarta tertinggal 128 tahun dibandingkan di negara maju. Dalam hal pendidikan, Indonesia memiliki peringkat PISA (Programmer for International Student Assesment) ke-62 dari 70 negara. Dengan adanya kenyataan tersebut, kita pertanyakan juga apa yang terjadi pada mutu Pendidikan di daerah yang terpencil dan tertinggal dari ibukota negara seperti Jakarta.
Selanjutnya dampak dari gagalnya sistem pembelajaran yaitu terjadinya skill gap yang menyebabkan pengangguran terbuka, dimana tidak ada link and match antara pihak penyedia tenaga kerja dan pelamar kerja. Hal tersebut dapat disebabkan salah satunya sebagaimana yang dikemukakan oleh International Labour Organization (ILO) yakni kompetensi lulusan yang rendah dan tidak bertemunya penawaran dan permintaan (supply and demand) ketenagakerjaan.
Tidak bermaksud menggurui, tulisan ini ingin menggugah kesadaran kita perlunya mewaspadai bahaya kekurangan kompetensi (competency shortage) yang mengarah pada skill gap ataupun skill drain yang berakibat pada kemajuan bangsa. Selain itu, kemungkinan ancaman ideologi politik, ekonomi, budaya, keamanan, dan pertahanan negara dikarenakan berkurangnya produktivitas dan merebaknya pengangguran akibat ketertinggalan ilmu pengetahuan di masa depan yang disebabkan oleh menurunnya kualitas pendidikan.
*Penulis adalah Dosen sekaligus Pemerhati Ekonomi/Manajemen Bisnis Berbasis Digital, lulusan doktoral dengan konsentrasi E-Management and Digital Economy, Manajemen Inovasi dan Survival Economy.
Discussion about this post