Oleh : Martino Wibowo, Ph.D.*
Penurunan rata-rata ekonomi dunia saat ini menurut Bank Dunia diperkirakan sebesar 5.2 persen atau 2 persen lebih buruk daripada perkiraan di awal masa pandemi COVID-19. Bahkan, mungkin lebih buruk daripada itu. Di Inggris dan negara-negara Eropa, lebih dari 25 persen Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) terdampak. Tak terkecuali China, sebagai pusat awal pandemi, pertumbuhan ekonominya turun dari 7 persen menjadi 3 persen, dan tersisa 1 persen hanya dalam waktu kurang dari satu semester.
Sementara di Indonesia, sentimen positif dari perang dagang memberikan keuntungan namun, penyebaran COVID-19 yang cukup masif membuat posisinya di ambang krisis. Beberapa lembaga ekonomi global memproyeksikan ekonomi Indonesia melambat dibandingkan 2019.
Pemerintah lantas menyesuaikan skenario pertumbuhan ekonomi 2020 menjadi 2,3 persen, lebih rendah dari target APBN 2020 sebesar 5,3 persen. Seiring terjadinya kenaikan signifikan pada angka pengangguran dan kemiskinan, terjadi pelemahan kinerja perekonomian domestik yang berdampak terhadap peningkatan beban belanja pemerintah.
Akibatnya, defisit APBN 2020 diperkirakan melebar hingga 5,07 persen. Selain itu, penerimaan perpajakan diproyeksikan turun Rp 403,1 triliun dari target APBN. Penanganan terhadap dampak juga membuat utang Indonesia membengkak.
Bank Dunia mencatat rasio utang Indonesia meningkat dari 28 persen menjadi 31,4 persen terhadap produk domestik bruto (PDB) pada 2020. Dana Moneter Internasional (IMF) juga memproyeksikan defisit transaksi berjalan melebar menjadi 3,2 persen terhadap PDB dan memperkirakan pertumbuhan ekonomi hanya 0,5% periode mendatang.
Dibandingkan dengan krisis-krisis yang pernah ada, kapan berakhirnya akibat outbreak pandemi COVID-19 ini juga tidak bisa diperkirakan, karena sifatnya yang indefinit alias tidak berujung. Entah kapan turbulensi ekonomi ini berakhir.
Kemungkinan krisis ekonomi yang berkepanjangan seperti yang dikatakan para ahli, akan semakin nyata dan menciptakan dystopia dalam semua bidang. Dari prakiraan awal hilangnya pandemi pada tiga bulan pertama, yang dilanjutkan periode second wave pada periode setelahnya.
Namun apalah dikata, beberapa negara seperti Indonesia masih mengalami kurva sigmoid. Sudah tidak terhitung berapa jumlah webinar, seminar, dan forum para ekonom membahas isu berakhirnya corona baru ini. Pada prakteknya semua hasil prakiraan tersebut tidak sesuai harapan.
Perekonomian dunia masuk ke resesi yang belum pernah terjadi sejak dekade millennium ini. Dampaknya pada rantai nilai global yaitu gangguan pada rantai pasokan dapat memperkuat guncangan pandemi pada perdagangan, produksi, dan pasar keuangan.
Skenario akselerasi ekonomi kemungkinannya adalah memproyeksi pertumbuhan jangka pendek tunduk pada tingkat ketidakpastian yang tidak biasa dan penciptaan skenario alternatif. Bagaimana informalitas akibat pandemi dapat merubah aset-aset menjadi tidak produktif (dead capital) dan memperburuk dampak ekonomi dari pandemi? Konsekuensi kesehatan dan ekonomi dari pandemi ini kemungkinan akan lebih buruk di negara-negara dengan sarana dan fasilitas kesehatan yang tidak memadai. Sedangkan dari sisi implikasi ekonomi makro regional, setiap wilayah dihadapkan dengan kerentanannya terhadap pandemi dan shock dari penurunan aktivitas ekonomi yang signifikan.
Dampak kompleksitas seperti outbreak pandemi ini didefinisikan oleh Corner (1998) sebagai ukuran heterogenitas atau keragaman dalam lingkungan, sub-faktor seperti pemerintah, pelanggan, pemasok, sosial-politik dan teknologi atau dinamika di lingkungan, yang melibatkan perubahan cepat dan tak terduga. Untuk itu kesiapan dan disiplin sangat mutlak diperlukan dalam situasi seperti ini.
Mengomentari carut-marut anggaran, sedikit menyitir Paul Krugman peraih nobel 2008, dalam bukunya yang berjudul “Berdebat dengan Zombie” (Arguing with Zombie) menyatakan pemotongan anggaran memang diperlukan untuk fokus pada penanganan dampak pandemi. “Pengeluaran Saya adalah penghasilan Anda dan pengeluaran Anda adalah penghasilan Saya”, tulisnya dalam kritik pemotongan anggaran resesi di Amerika Serikat.
Benang merah dari komentar beliau adalah kebijakan ini haruslah tepat sasaran pada warga yang terdampak, bukan malah menjadi bancakan oleh zombie-zombie politik dan birokrasi yang digambarkan oleh Krugman, yang sangat bernapsu untuk memakan otak warga yang terdampak dengan alasan perlunya penggelontoran budget.
Saat ini sektor bisnis retail dan pariwisata mungkin dalam keadaan transisi, bergerak dari stabilitas menuju turbulensi, Oleh karena itu penting untuk mempertimbangkan langkah yang lebih mengedepankan pada realitas dan ad hoc (sesuai tujuan) daripada sekedar asumsi-asumsi belaka. Karena lingkungan yang volatile telah menjadi semakin rumit dalam satu semester ini, sulit untuk menentukan bahwa sektor usaha terutama UMKM mungkin tidak cukup stabil untuk mengimplementasikan strategi yang diharapkan.
Terlepas bagaimana perusahaan memandang realitas pasar, bagi mereka mungkin lebih penting daripada hanya berandai-andai kapan krisis ini berakhir dengan harapan mendongkrak penjualan atau produksi mereka.
Langkah solutif lainnya adalah kreativitas dan inovasi yakni dengan menghindari strategi “me too” atau ikut-ikutan dan mendorong diferensiasi dan penggunaan teknologi informasi. Pengembangan strategi baru, re-organisasi, pengembangan taktik pemasaran untuk prospek tertentu, tim mandiri, kolaborasi, dan pertumbuhan aliansi strategis.
Selain itu, penguatan kembali sisi internal yang mengedepankan inward looking dengan mengenali potensi dan pemberdayaan perusahaan dalam negeri harus kita tingkatkan kembali dengan mendorong dan mendukung bisnis kecil dan menengah untuk tetap dapat survive dan mempertahankan perusahaan besar agar tidak kolaps. Seperti kebijakan di Inggris yang memotong anggaran untuk gaji pegawai negeri sipil sebesar 20 persen dan mengalokasikan 250- 500 poundsterling dalam bentuk voucher untuk UKM dan pemberdayaan ekonomi warga miskin terdampak pandemi yang sudah diskrining secara digital dan layak diberikan bantuan oleh pemerintah.
Hal ini juga diterapkan oleh negara welfare state seperti negara-negara Skandinavia yang pemotongannya lebih dari besaran itu. Namun sekali lagi transparansi dan akuntabilitas anggaran yang tepat sasaran itu harus dikedepankan dan menjadi concern utama dalam pengelolaannya.
Sekali lagi dengan adanya pembahasan ini bukan untuk membuat kita semakin takut, pesimis dan terjebak dalam distopia, namun kita “mau tidak mau” dan “suka atau tidak suka” harus siap dengan perubahan besar dan terburuk akibat pandemi yang tak berujung. Kita bukan bicara zero-sum game ataupun the best is the winner (yang terbaiklah yang menang), namun the fittest is the best (yang paling bisa bertahan, itulah yang terbaik).
*Penulis adalah dosen, pengamat ekonomi dan lulusan doktoral dengan konsentrasi di bidang ekonomi digital, e-management dan survival economics.
Discussion about this post