Oleh Metha Madonna, S.Sos, M.I.Kom
Demokrasi Pancasila memberi ruang cukup besar bagi tumbuh kembangnya aspirasi masyarakat dalam upaya membangun negeri melalui saluran (kanal) konstitusi seperti MPR, DPR, DPRD atau kontak-kontak pengaduan langsung yang dibuka institusi Pemerintah atau lewat kanal alternatif seperti media massa maupun media sosial.
Belakangan, kanal alternatif seperti media sosial dinilai lebih aktif untuk menyampaikan aspirasi publik. Birokrat atau pihak-pihak yang disasar kririk dan keluhan via media sosial seperti facebook, twitter dan Whatsapp, terlihat jauh lebih responsif walau belum tentu soal tindaklanjutnya. Aksi responsif birokrat, tokoh atau pihak atas kebijakan atau peristiwa yang jadi ‘trending topic’ adalah dampak budaya bermedia sosial di masyarakat.
Pada saat bersamaan, kanal-kanal konstitusional terkesan lamban dan tak banyak berperan bahkan dianggap menimbulkan masalah. Aspirasi publik dengan muatan kepentingan golongan, kelompok maupun individu mengalir deras di media sosial dalam penyampaian berbentuk kritik, harapan hingga ratapan. Baik berbahasa santun, terstruktur, simpatik atau sebaliknya, kotor, serampangan dan menimbulkan kebencian sebagaimana halnya fenomena berita bohong (hoaks).
Celakanya aspirasi atau motif tersembunyi lainnya yang disampaikan dengan cara-cara negatif, tidak santun dan cenderung mengobarkan kebencian tidak lagi berada di area media sosial. Muatan negatif atau disebut provokasi telah merambah di media online sebagaimana diungkapkan oleh Nazarova, E. A. (2017) dalam jurnalnya yang berjudul ‘Provocations In The Media and Their Perception By The Youth Audience’.
Barangkali muncul pertanyaan memangnya kenapa dengan media online? Pastinya kelompok media ini sebelumnya berasal dari berbagai media konvensional (cetak dan elektronik) yang hijrah mengikuti arus digitalisasi jaringan terintegrasi global (internet). Media mainstream ini bermetamorfosis menjadi e-paper, e-magazine atau radio dan televisi streaming.
Tidak dipungkiri belakangan ini sejumlah surat kabar yang terbit di Indonesia sebagian besar didukung dengan e-paper dan online.
Intinya media online adalah perusahaan atau lembaga penyiaran berbadan hukum atau minimal punya pemahaman yang cukup mengenai kode etik dan hukum pers yang basis fundamentalnya adalah independensi.
Tentunya menjadi tanggungjawab owner, pengelola maupun karyawan perusahaan media online bersangkutan agar mengedepankan asas independensi pers. Termasuk juga media online tak berbadan hukum yang tidak terverifikasi di Dewan Pers atau asosiasi jurnalis.
Berdasarkan data yang dikeluarkan oleh Dewan Pers jumlah media massa baik cetak, elektronik maupun online 2016 yang terdaftar sebanyak 1645 media yang terbagi menjadi beberapa bagian, untuk media yang sudah terverifikasi administrasi dan faktual berjumlah 76 media, terverifikasi administrasi sebanyak 289 media, dan sebanyak 1280 media belum terverifikasi.
Jurnalisme Provokasi
Munculnya jurnalisme provokasi tidaklah serta merta terjadi, melainkan sebagai ujung ranting dari sebuah proses propaganda politik atau doktrinasi melalui media. Sebagaimana terjadi di negara Eropa Timur seperti Rusia dan Polandia dimana pemberitaan media berupaya memengaruhi sikap dan loyalitas rakyat terhadap kondisi negara termasuk orientasi hidup dan ideologi seperti termuat dalam Poland’s Journalisists; Professionalism and Politics (Jane Leftwich Curry, 2009).
Jurnalisme provokasi di Tanah Air diawali saat kran kebebasan pers terbuka oleh momentum reformasi 1998. Euforia kemerdekaan pers dari keterkekangan selama rezim Orde Baru telah membuat pers mengeksploitasi segala konflik yang terjadi di masyarakat secara gamblang, kritis dan tajam, namun disampaikan secara dramatis, bombastis dan tendesius bahkan cenderung menghujat dengan harapan memancing emosi khalayak.
Selanjutnya era reformasi yang didukung terjadinya digitalisasi media berbasis internet menjadi lahan subur jurnalisme provokasi yang ideal. Tiada lagi kontrol penguasa, kian diabaikannya kode etik, sementara masyarakat juga tidak mampu membedakan media online dengan kemerdekaan liar media sosial.
Fenomena jurnalisme provokasi telah bermunculan pada saat Pemilihan Presiden (Pilpres) 2014 ketika mempertemukan pasangan capres-cawapres Joko Widodo – Jusuf Kalla dengan Prabowo Subianto – Hatta Rajasa. Saat itu marak kampanye negatif (black campaign) bertebaran di media sosial maupun media online yang tidak dapat dipertanggungjawabkan.
Puncaknya justru ketika Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) DKI Jakarta 2017 dimana pemberitaan bermuatan provokasi bak air bah di media online mupun konvensional. Utamanya pemberitaan berbasis sentimen Suku, Agama, Ras dan Antargolongan (SARA) yang bermula Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) terpeleset kasus penistaan Agama Islam dan Al Qur’an.
Derasnya pemberitaan menghujat dan menuntut Ahok di media online, nyatanya tidak kalah gencar dengan artikel pembelaan oleh kelompok Pro-Ahok, dalam penyampaian sama-sama dituangkan dalam bentuk provokatif, saling menjatuhkan dan emosional.
Jika diamati saat ini peristiwa konflik yang ada di masyarakat sering terjadi. Ketika peristiwa konflik terjadi biasanya akan selalu banyak media yang meliput, karena isu ini dianggap ‘seksi’ bagi insan pers. Sebab peristiwa yang mengandung konflik adalah salah satu peristiwa yang dianggap layak untuk dijadikan berita. Konflik dianggap punya nilai berita tinggi karena biasanya menimbulkan kerugian atau korban (Ben Abidin Santosa, 2017).
Pemberitaan berbasis konflik SARA yang masif dan agresif di media online, ditambah panasnya perseturuan media sosial tentunya sangat dikhawatirkan dapat menjadi pemicu semakin meluas dan berkepanjangan konflik. Maka perlu diperhatikan fenomena jurnalisme provokasi yang mengancam keamanan berdemokrasi.
Waspada Jelang Pilpres 2019
Pastinya jurnalisme provokasi tidaklah semata berasal dari pihak penantang, oposisi atau kelompok yang kecewa dengan pemerintah petahanan (incumben). Provokasi dalam bentuk propaganda atau doktrinasi telah melekat dengan kekuasaan otoriter di rezim masa lalu, jadi peluang saling memprovokasi oleh media massa pendukung salah satu kontestan Pilpres 2019 bisa saja terjadi.
Tentunya perlu perumusan kriteria definisi dan serangkaian langkah identifikasi lainnya guna mendeteksi dini munculnya jurnalisme provokasi berbasis sentimen SARA di Pilpres 2019. Jika tidak, fenomena pemberitaan atau jurnalisme provokasi dapat mencederai keamanan berdemokrasi di Tanah Air.
Setidaknya melalui tulisan ini serta riset yang tengah penulis lakukan di Pusat Kajian Keamanan Nasional (Puskamnas) Universitas Bhayangkara Jakarta Raya membangkitkan sensor-sensor kepekaan nurani agar setiap insan jurnalis, media massa serta pihak-pihak yang terlibat lainnya agar selalu mengedepankan unsur kemanusiaan, menjaga persaudaraan antar umat beragama serta menjaga keutuhan persatuan bangsa dalam bingkai NKRI. (Penulis — Dosen dan Peneliti Kajian Jurnalistik & Penyiaran di Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Bhayangkara Jakarta Raya (UBJ).
Discussion about this post