Sudah dari tahun 1824 efek rumah kaca diteliti oleh para ilmuwan. Joseph Fourier, salah satu ilmuwan, menyatakan bahwa efek rumah kaca membuat iklim Indonesia menjadi layak huni. Diperkirakan tanpa ada efek rumah kaca permukaan bumi akan berada sekitar 60 derajat Farenheit atau 15,6 derajat Celcius lebih dingin, sehingga permukaan bumi mirip dengan Planet Mars.
Penamaan efek rumah kaca ini didasarkan atas peristiwa yang terjadi di rumah kaca, suhu di rumah kaca lebih tinggi dari di luar rumah kaca disebabkan seisi cahaya yang masuk tidak dapat keluar atau terperangkap di dalamnya. Proses terjadinya efek rumah kaca adalah adanya panas yang ditimbulkan oleh cahaya matahari masuk ke atmosfer namun pantulannya terhalang oleh gas rumah kaca sehingga panas yang dipantulkan dari bumi terperangkap.
Beberapa aktivitas yang menjadi penyebab efek rumah kaca adalah hasil pembakaran bahan bakar fosil seperti minyak bumi, batu bara, asap pabrik, asap kendaraan bermotor, tingginya pemakaian pupuk kimia dalam bidang pertanian, penebangan liar disertai pembakaran hutan, penggunaan Chloro Fluoro Carbons (CFCs) pada alat pendingin seperti AC secara berlebihan, emisi dari gas metana dari aktivitas lahan sawah pertanian, hewan dan lain-lain. (Qothrunnada, 2021)
Efek rumah kaca ini jika terlampau banyak akan berdampak buruk terhadap lingkungan seperti kenaikan suhu bumi yang akan mengubah iklim. Perubahan iklim yang drastis akan menyebabkan gagal panen. Kadar air laut akan naik disebabkan pencairan gletser. Meningkatnya kepunahan spesies yang disebabkan kenaikan suhu. Menipisnya lapisan ozon membuat radiasi sinar ultraviolet menjadi berbahaya dan hilangnya terumbu karang yang ada di perairan laut yang berdampak kepada berkurangnya variasi ikan laut.
Langkah-langkah pemerintah Indonesia dalam menurunkan emisi tersebut sudah diambil dari 2006 oleh Direktorat Jenderal Pengendalian Perubahan Iklim-Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan dengan menghitung emisi dengan menggunakan metodologi IPCC pedoman 2006. Peraturan Presiden pun dibuat No.71 Tahun 2011 tentang Penyelenggaraan Inventarisasi Gas Rumah Kaca Nasional (GRK). Pemerintah Indonesia juga menyelenggarakan inventarisasi GRK Nasional serta Monitoring, Pelaporan, dan Verifikasi (MPV) dengan mengacu kepada Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) Guideliness Tahun 2006. Perhitungan emisi dilakukan dengan 4 kategori yaitu energi, proses industri dan penggunaan produk, pertanian, dan kehutanan serta perubahan penggunaan lahan lainnya, serta pengelolaan limbah.
Indonesia juga berkomitmen pada Conference of Parties (COP) 15 tahun 2009 untuk menurunkan emisi GRK sebesar 26% dengan usaha sendiri dan 41% jika mendapatkan bantuan internasional. Komitmen ini diperkuat melalui dokumen Nationally Determined Contribution (NDC) Republik Indonesia degan target unconditionally sebesar 29% dan target conditional sebesar 41% di tahun 2030. Secara nasional target unconditional (CM1) adalah sebesar 834 juta ton CO2e dan target conditional (CM2) adalah 1.082 juta ton CO2e.
Pengaturan kelembagaan inventarisasi GRK Nasional diatur dalam Lampiran I Peraturan Menteri LHK Nomor P.73/MenLHK/Setjen/Kum.1/12/2017 tanggal 29 Desember 2017 tentang Pedoman Penyelenggaraan dan Pelaporan Inventarisasi Gas Rumah Kaca. Namun disayangkan bahwa pengembangan inventarisasi ini hanya melibatkan K/L pusat saja belum ke pemerintah daerah (DITJEN PPI-KLHK, 2017).
Untuk solusi efek rumah kaca, pemerintah terus mendorong pemanfaatan energi terbarukan (EBT). Menurut Dadan Kusdiana, Direktur Jenderal Energi Baru Terbarukan, ada tujuh cara dalam menekan gas emisi. Pertama, pemerintah mempercepat program kendaraan listrik berupa infrastruktur dari hulu hingga Stasiun Pengisian Kendaraan Listrik Umum (SPKLU). Kedua, pemerintah hanya mengizinkan pembangunan gedung yang hemat energi . Ketiga, pemerintah mempopulerkan hemat energi untuk sektor rumah tangga terhadap AC, lampu, dan alat rumah tangga lain. Kelima, pemerintah mengurangi emis dengan melalui Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) Atap. Kelima, pemerintah menurunkan emisi CO2 melalui bahan bakar non fosil (biofuel) seperti biodiesel atau bio gasoline, Keenam dan ketujuh, pemerintah menurunkan emisi dengan penerangan jalan umum (PJU) dab pengelolaan sampah (Umah, 2021). Cara ini menyumbang 36 % dalam menurunkan emisi dari sektor energi.
Langkah strategi lain menggunakan strategi FOLU (Forestry and Other Land Uses) yang menyumbang 60% dalam menurunkan emisi. Indonesia telah berhasil mengendalikan kebakaran lahan dan hutan turun hingga 82% di tahun 2020 serta merehabilitasi hutan Mangrove seluas 600 ribu hektare sampai di 2024 yang merupakan terluas di dunia. Sektor keuangan juga berperan penting dalam memobilisasi pembiayaan transaksi ekonomi hijau contoh pembiayaan inovatif serta pembiayaan campuran, obligasi hijau, dan sukuk hijau (Fauzia, 2021).
Terdapat beberapa hambatan bagi pendanaan hijau atau green finance di Indonesia. Pertama, Indonesia memiliki sumber daya manusia yang rendah dan kurang pengalaman terhadap alat keuangan baru seperti obligasi hijau. Contoh dari kekurangan pengalaman adalah bank lambat dalam menyadari potensi green finance. Kemudian bank sangat sulit dalam menganalisis secara baik dan menggaransi akan membeli alat instrumen green finance yang tidak terjual (underwriting) sehingga bank salah mengatur insentif investor, dan memaksa kinerja sektor menjadi tidak efisien.
Beberapa contoh pendanaan hijau oleh bank lokal. Pertama, Bank Mandiri menyalurkan dana sebesar 41, 3 juta dolar pada 8 daerah produsen pati singkong untuk pembangunan sistem pembangkit listrik tenaga biogas. Kedua, Bank BRI menyalurkan kredit sebesar Rp. 127 miliar untuk Pembangkit Listrik Tenaga Panas bumi di Jawa Tengah dan Jawa Barat. Beberapa bank lain juga menyalurkan kredit ke usaha kecil dan menengah melalui mekanisme Kredit Ketahanan Pangan dan Energi (KPPE). Kredit ini disalurkan ke petani, peternak dan lain-lain untuk mendukung terjaminnya pengadaan pangan dan pengembangan energi nabati seperti tanaman tebu dan singkong serta peternakan yang dapat diolah menjadi bioetanol dan biogas.
Bagaimana dengan pendanaan hijau global? Green Investment Bank menginvestasikan dana sebesar 461 juta poundsterling ke proyek pembangkit listrik tenaga angin lepas pantai Westermost Rough di pantai East Yorkshire. Green Investment Bank juga mengucurkan dana ke program fasilitas pemanasan menggunakan biomassa sebesar 1,2 juta poundsterling untuk mengurangi emisi CO2 sebanyak 96.500 ton selama 20 tahun. Scotia Bank mengucurkan dana sebesar 250 juta dolar kepada Brookfield Renewable Energy Partners untuk pembiayaan fasilitas pembangkit listrik tenaga air. Scotia Bank juga menyediakan dana untuk perusahaan kecil dan menengah di Peru untuk investasi di teknologi ramah lingkungan dan sistem produksi yang berkelanjutan.
St. Mary Bank menyediakan program pinjaman yang menargetkan rumah tangga demi mendukung efisiensi program dengan cara membeli sistem pendingin/penghangat dan peralatan rumah tangga yang ramah lingkungan dan efisiensi dalam penggunaan. Alliance Bank Bhd dari Malaysia menyediakan program pinjaman yang ditujukan kepada rumah tangga yang ingin memasang panel surya di rumah. Thornton Bank bekerja sama dengan kfw-Bank menyediakan dana pengembangan pembangkit listrik tenaga angin lepas pantai Belgia sebesar 900 juta Euro yang menghasilkan energi 325 WM.
Implementasi pendanaan hijau di Indonesia dilakukan sangat sekali-sekali (sporadic), hanya untuk tertentu (ad hoc), sebagian, tidak terdokumentasi dan tidak dipublikasikan. Pengetahuan Keuangan keberlanjutan tidak dimiliki, kurangnya pengalaman dan pelatihan khususnya bank lokal yang terbatas dalam memahami standar dan praktik keuangan berkelanjutan(Halimatussadiah et al., 2018). Indonesia memiliki kondisi investasi yang sulit, perubahan kebijakan yang tidak pasti, dan prosedur izin yang kompleks yang menghambat investor asing untuk berinvestasi di Indonesia menahan pendanaan hijau di Indonesia. Walaupun kebutuhan pendanaan hijau tinggi namun lembaga keuangan intermediaries yang kekurangan pengalaman akan membuat biaya transaksi besar saat alokasi dana.
Pasar energi di Indonesia didominasi oleh PLN. Sejak tahun 1990, PLN memberikan perjanjian dengan produsen tenaga independen selama 20-30 tahun dengan harga tetap. Dengan desain yang seperti ini maka arus dana dari pendanaan hijau akan banyak mengarah ke satu institusi saja. Hal ini mengkhawatirkan karena perataan pendapatan akan mengalir kembali ke sedikit pihak (Guild, 2020).
Indonesia memiliki cadangan batu bara yang besar. Batu bara tersebut menjadi bahan untuk pembangkit listrik tenaga batu bara. Pembangunan pembangkit listrik tersebut menggunakan dana pribadi senilai miliaran dolar. Ini akan menjadi konflik ketika penggunaan batu bara dikurangi. Kenapa? Karena investasi besar tersebut, membutuhkan waktu untuk pengembalian yang lama sesuai arus cashflow dan tingkat pengembalian investor. Ketika sudah matang dalam menentukan investasi pembangunan pembangkit listrik tenaga batu bara dan sedang berjalan, kemudian masuk konsep baru mengenai pendanaan hijau, menurut pembaca siapa yang akan membeli pendanaan hijau? Selain investor asing. Indikator ini bisa diukur dari banyak perusahaan pertambangan batu bara terbesar memiliki hubungan diplomatik yang kuat. Pernyataan ini secara implisit menyatakan bahwa investor dalam negeri banyak berinvestasi di pertambangan energi tak terbarukan.
Kampanye dari penurunan efek gas rumah kaca ini memang sangat baik ketika negara itu tidak kaya akan mineral, fosil dan energi tak terbarukan lainnya. Negara-negara tersebut yang tidak memiliki kekayaan alam tersebut menjadikan kampanye ini semilir angin segar di rutinitas sehari—hari. Kenapa? Tentu disadari atau tidak, adanya ketergantungan energi tak terbarukan kepada negara lain membuat negara tersebut sensitif dengan volatilitas dari harga energi tersebut yang menyebabkan negara maju tersebut sensitif dengan permasalahan global.
Sebuah pertanyaan muncul apakah Indonesia dengan negara akan kekayaan melimpah tidak menyadari bahwa Indonesia tidak berkontribusi besar dalam menyumbang gas CO2 dan bahkan lebih mudah menurunkannya karena memiliki hutan yang luas. Apakah pemerintah Indonesia tidak melihat Pulau Kalimantan yang memiliki cadangan batu bara yang besar sehingga Pulau Kalimantan tidak perlu bantuan dari pemerintah pusat untuk pembangunan. Ketika secara global pembangunan infrastruktur pembangunan berkelanjutan sudah selesai dan permintaan akan batu bara turun apakah tidak akan mempengaruhi keadaan ekonomi di pulau tersebut? Apakah ini tidak akan mempengaruhi stabilitas ekonomi dan politik di Indonesia? Apakah mungkin kebijakan politik Indonesia akan mengembangkan energi terbarukan seperti tenaga surya, angin dan biomassa. Apakah investor batu bara akan berdiam diri ketika penjualan batu bara menurun bahkan berkurang sekitar 40%? Apakah kinerja industri pertambangan akan turun? Apakah IHSG juga akan terpengaruh? Ini jadi pertanyaan selanjutnya jika proyek pembangunan berkelanjutan menurunkan emisi sebanyak 40% dan Dunia mengurangi impor bahan mentah fosil dari Indonesia untuk mengurangi efek rumah kaca. Bagaimana pendapat pembaca budiman? *Penulis adalah Dosen Manajemen S-1 Universitas Pamulang
Discussion about this post