JAKARTA, KabarSDGs — Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG) memberi peringatan waspada adanya potensi siklon tropis dengan tingkat kejadian lebih tinggi yang biasa terjadi pada bulan April, Mei, November dan Desember.
“Kewaspadaan potensi siklon tropis di wilayah selatan Indonesia itu antara November-Mei, dengan tingkat kejadian lebih tinggi dapat terjadi pada bulan April, Mei, November, Desember,” ujar Koordinator Bidang Prediksi dan Peringatan Dini Cuaca BMKG, Miming Saepudin dalam keterangan resmi yang diterima KabarSDGs, Jumat (30/4/2021).
Miming memaparkan sejak 2008, terdapat 11 siklon tropis yang sangat dekat dengan Indonesia, 10 siklon diantaranya telah dirilis oleh Tropical Cyclone Warning Center (TCWC) BMKG Jakarta. Secara umum, kejadian siklon di dekat Indonesia terjadi antara April-Mei dan Nopember-Desember.
Siklon tropis Seroja yang terjadi di Nusa Teggara Timur (NTT) pada awal April lalu merupakan yang terkuat kedua setelah siklon tropis Kenanga yang terjadi pada 12 Desember 2018 di Samudera Hindia Barat Daya Bengkulu. Siklon tropis Seroja juga merupakan siklon tropis yang paling lama siklus hidupnya dan terpanjang track siklon nya, yakni NTT hingga Baratdaya Australia.
Sementara siklon tropis Kirrily, Cempaka, Dahlia, Lili dan Seroja merupakan yang paling dekat dengan daratan dan paling signifikan berdampak pada cuaca ekstrem dan bencana hidrometeorologi.
Miming melanjutkan siklon tropis memiliki dampak yang kompleks. Secara langsung dampaknya yakni angin kencang, hujan lebat hingga ektrem, gelombang tinggi dan gelombang pasang. Ada juga dampak tidak langsung yaitu menimbulkan angin kencang di daerah lain, hujan lebat dan gelombang pasang dengan intensitas lebih kecil.
Namun dia mengingatkan tantangan lain yang dihadapi terkait dengan pengurangan resiko dampak siklon tropis yang kerap melanda tanah air. Setelah peringatan dini tersedia dan terinformasikan, maka penting dilakukan peningkatan pemahaman dan respon yang tepat bagi stakeholder atau masyarakat terhadap informasi tersebut. Selain itu, peningkatan atau perbaikan infrastruktur lingkungan juga penting dalam menghadapi bencana.
Pada akhir paparan Miming juga mengingatkan masyarakat akan potensi bencana lain yakni kebakaran hutan dan lahan. “Secara umum wilayah Indonesia akan mulai memasuki awal musim kemarau pada Mei-Juni 2021, sehingga potensi bencana lain seperti Karhutla untuk dapat menjadi perhatian,” kata Miming.
Menurut Miming Saepudin dari BMKG, siklon tropis sudah beberapa kali melintasi Indonesia dengan potensi terbesarnya di Bulan April-Mei. “Dampak terbesar dirasakan pada 2008 lalu, baru yang kedua adalah di NTT pada awal April kemarin,” lanjutnya.
Miming juga mengingatkan adanya bahaya kebakaran hutan dan lahan di musim kemarau yang diperkirakan mencapai puncaknya pada bulan Juli-Agustus.
Miming menjelaskan dampak dari bencana turunan dari siklon tropis sangat perlu diwaspadai, diantaranya adalah gelombang tinggi, angin kencang, hujan lebat, banjir, longsor, dan banjir bandang. Hal ini senada dengan hasil temuan lapangan yang dilakukan oleh BNPB.
“Dampak signifikan yang terjadi di Adonara, Lembata, dan Alor cukup luar biasa, namun bukan representasi dari dampak langsung siklon tropis,” ungkap Abdul Muhari, salah satu anggota Tim Survey BNPB.
Dijelaskan bahwa dampak signifikan yang terjadi di 3 daerah tersebut diakibatkan oleh banjir bandang dan debris flow sebagai bencana turunan akibat siklon tropis.
Sumaryono dari PVMBG menemukan banyak penduduk yang tinggal di daerah kipas aluvial karena sumber mata air yang melimpah di sekitar wilayah tersebut. Pernyataan ini diperkuat dengan temuan lapangan tim survey dan pemetaan BNPB bahwa masyarakat tidak merasa perlu menghindari membangun rumah di alur sungai. Pendataan penduduk dan sistem peringatan dini yang tepat sangat penting dilakukan di wilayah tersebut sebagai antisipasi untuk mengurangi kerugian yang mungkin timbul akibat bencana serupa di masa depan.
Profesor Faisal Fathani dari UGM berpendapat dengan morfologi pulau di NTT yang cenderung hampir mirip satu sama lain, bentuk mitigasi yang sama dapat diterapkan di seluruh NTT yaitu dengan menerapkan sabo dam untuk mengurangi dampak banjir bandang.
Selain itu, juga early warning system dapat diaplikasikan menggunakan pendulum dan ultrasonic sensor dengan partisipasi masyarakat. Ide ini diapresiasi oleh PUPR mengingat adanya kondisi beberapa daerah yang tidak memungkinkan untuk dilakukan relokasi.
Sejauh ini ada 2 peta usulan relokasi baru yaitu di Waisesa II sebanyak 546 unit rumah dan Waisesa I sebanyak 154 unit rumah. Peran dari unsur kebencanaan sangat dibutuhkan dalam menentukan area relokasi ke depannya.
Sampai saat ini penanganan pasca bencana hidrometeorologi akibat siklon tropis Seroja di NTT masih terusberlanjut. PUPR mencanangkan penyelesaian rehabilitasi dan rekonstruksi rumah rusak dan sejumlah bangunan infrastruktur seperti jalan, jembatan, bendung, jaringan irigasi, dan bangunan sungai/pantai di tahun 2021 dan diteruskan di tahun 2022.
Perdinan menjelaskan bahwa sistem peringatan dini yang diberikan BMKG beberapa hari sebelum kejadian sudah tepat. Lebih lanjut, Perdinan menilai kepastian siklus tidak menjamin kepastian besaran bencana dan area terdampaknya.
Discussion about this post