JAKARTA, KabarSDGs — Presiden mencabut butir-butir lampiran pada Peraturan Presiden Nomor 10/2021 tentang Bidang Usaha Penanaman Modal yang mengatur soal investasi di bidang industri minuman keras (miras).
“Bersama ini saya sampaikan saya putuskan lampiran Perpres terkait pembukaan investasi baru dalam industri minuman keras yang mengandung alkohol saya nyatakan dicabut,” kata Presiden Jokowi dalam kanal Youtube Sekretariat Presiden yang dilihat di Jakarta, Selasa (2/3/2021).
Perpres Nomor 10/2021 itu terbit pada 2 Februari 2021 sebagai peraturan turunan UU Cipta Kerja. Perpres ini memang tidak mengatur khusus miras melainkan soal penanaman modal.
Namun, disebutkan dalam beleid tersebut bahwa industri miras di daerah tertentu di Indonesia, yakni Provinsi Bali, Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT), Provinsi Sulawesi Utara, dan Provinsi Papua.
Presiden Jokowi menyebut keputusan itu ia ambil setelah mendengar berbagai masukan.
“Setelah menerima masukan-masukan dari ulama-ulama MUI, Nahdlatul Ulama, Muhammadiyah, dan ormas-ormas lainnya serta tokoh-tokoh agama lain serta juga masukan-masukan dari provinsi dan daerah,” ujar Presiden.
Lampiran III Perpres Nomor 10/2021 menyebutkan investasi miras hanya diperbolehkan di Provinsi Bali, NTT, Sulawesi Utara, dan Provinsi Papua dengan memperhatikan budaya dan kearifan setempat.
Tapi penamanan modal untuk industri di luar daerah-daerah tersebut dapat dilakukan bila ditetapkan oleh Kpala Badan Koordinasi Penanaman Modal berdasarlan usulan gubernur. Hal tersebut termuat dalam Lampiran III angka 31 dan angka 32 huruf a dan b.
PBNU Apresiasi Jokowi
Lembaga Kajian dan Pengembangan Sumber Daya Manusia (Lakpesdam) PBNU mengapresiasi keputusan Presiden Joko Widodo mencabut Lampiran III Perpres Nomor 10 Tahun 2021 terkait dengan pembukaan investasi baru dalam industri minuman keras.
“Ini menjadi pembelajaran yang baik, bahwa setiap perumusan kebijakan publik, terutama hal-hal sensitif yang potensial kontroversial, membutuhkan mendengar suara publik. Hal ini perlu dalam penyusunan, bukan ketika regulasi sudah disahkan,” kata Ketua Lakpesdam PBNU Rumadi Ahmad dalam keterangan pers di Jakarta, Selasa.
Menurut Rumadi, Presiden Joko Widodo benar-benar mendengarkan suara publik dan ingin mengehentikan pro dan kontra. Bahkan, masukan dan saran dari Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) K.H. Said Agil Siradj turut didengar oleh Presiden Jokowi.
Ia mengutarakan bahwa persoalan minuman beralkohol memang cukup krusial. Dalam hal ini, publik tidak bisa menutup mata bahwa komoditas itu sudah menjadi industri yang mendatangkan devisa negara.
Yusril: Perpres Miras Harus Direvisi
Pakar Hukum Tata Negara Prof Yusril Ihza Mahendra mengatakan pencabutan ketentuan tentang investasi minuman keras dalam Peraturan Presiden Nomor 10 Tahun 2021 tentang Bidang Usaha Penanaman Modal harus diikuti dengan penerbitan peraturan baru yang merevisi peraturan tersebut.
“Presiden harus menerbitkan peraturan presiden baru yang berisi perubahan atas peraturan tersebut, khususnya menghilangkan ketentuan lampiran yang terkait dengan minuman keras,” kata Yusril Ihza, saat dihubungi dari Jakarta, Selasa.
Yusril mengatakan dengan penerbitan peraturan baru yang merevisi Peraturan Presiden tentang Bidang Usaha Penanaman Modal, maka persoalan pengaturan investasi minuman keras tersebut telah resmi dihapus dari norma hukum positif di Indonesia.
Sedangkan ketentuan-ketentuan lain yang memberikan kemudahan terhadap investasi dalam peraturan tersebut, Yusril memandang tidak mengandung masalah yang serius sehingga tidak perlu direvisi segera.
Terkait dengan penolakan terhadap bagian tentang investasi minuman keras dalam Peraturan Presiden Bidang Usaha Penanaman Modal, Yusril menilai itu merupakan hal yang wajar di Indonesia yang mayoritas penduduknya beragama Islam.
“Di negara sekuler seperti Filipina saja, Gloria Arroyo Macapagal ketika menjabat sebagai Presiden pernah memveto pengesahan RUU tentang kontrasepsi yang telah disetujui senat, karena mempertimbangkan Gereja Katolik Filipina yang menentang keluarga berencana karena dianggap tidak sejalan dengan doktrin keagamaan,” ujarnya pula.
Bila di negara yang mengaku sekular, ternyata pertimbangan keagamaan tetap menjadi hal yang penting, Yusril mengatakan negara yang berdasarkan Pancasila seharusnya berbuat lebih daripada itu.
Discussion about this post