JAKARTA, KabarSDGS – Waktu menunjukkan Pukul 14.00 Waktu Sydney, Australia, sementara di Jakarta menunjukkan Pukul 10.00 WIB, sudah saatnya KabarSDGs melakukan wawancara khusus melalui dalam jaringan (daring). Semenjak Pandemi Covid-19, banyak wawancara dan liputan dilakukan melalui daring. Mempermudah interaksi dengan narasumber yang tak hanya di dalam negeri, namun juga di luar negeri.
Seperti awal Januari lalu. Veritia, Fifia Asiani Himawan, dan Yaumal Hutasuhut dari KabarSDGs berkesempatan membahas Sustainable Development Goals (SDGs) dengan Pakar Corporate Social Responsibility (CSR) dan SDGs dari Universitas Trisakti Maria R Nindita Radyati, PhD, Dip.Cons, Dip.PM, Cert. IV IRM yang saat itu sedang berada di Australia. Bersuamikan pria Australia, perempuan yang kerap disapa Nita itu kerap bolak balik Australia – Indonesia.
Mengenakan kaos putih bergaris merah dipadu blazer hitam, Executive Director di Center for Entrepreneurship, Change, and Third Sector (CECT) Universitas Trisakti itu mengaku prihatin dengan sosialisasi SDGs yang masih banyak terkendala, terutama saat penyampaiannya ke daerah-daerah. Masih banyak di tingkat daerah yang belum mengerti apa itu SDGs.
Menurut Nita, kendala itu akan teratasi jika semua sektor memiliki komitmen. Termasuk para pemimpin daerah. “Sebagai pemimpin harus belajar dong. Tidak peduli apakah itu presiden, atau pejabat lainnya, yang penting harus belajar (SDGs-red).”
Dia pun menuturkan, pernah suatu ketika dirinya menjadi pembicara pada seminar dan workshop yang diselenggarakan salah satu perusahaan dan dilaksanakan di beberapa daerah. Namun, Nita prihatin, karena kebanyakan pemimpin daerah hanya hadir mengikuti acara pembukaan. Setelah itu, mereka memilih meninggalkan workshop dan menyerahkan kepada anak buahnya.
Padahal, workshop tersebut diisi dengan narasumber-narasumber yang kompeten dari Bappenas atau Bappeda, UNDP, akademisi, swasta, serta masyarakat. Isi workshop seputar bagaimana menjalankan proyek-proyek CSR agar berkontribusi kepada SDGs.
“Tapi, itu gubernur, walikota, mereka tidak pernah stayed. Cuma pembukaan, sisanya pergi. Terus ada konferensi pers, abis itu selesai, goodbye!” Saat itu, Nita pun membatin kapan para pemimpin daerah itu mau belajar. Karena dengan belajar, akan terlihat kualitas pengetahuan dari pemimpin terkait SDGs. Ketika seorang pemimpin paham, transfer ilmu ke anak buah pun pastinya akan lebih mudah. Dan sosialisasi ke masyarakat pun tidak akan mengalami kendala seperti yang saat ini terjadi.
“Dalam hati saya, kapan You (para pemimpin-red) mau belajar,” ujar Nita. Di saat wawancara, lanjut dia, terlihat juga tingkatan pemahaman para pemimpin itu terkait SDGs. “Harus ada komitmen dari pimpinan untuk mau belajar.”
Nita mengakui, selain masih minimnya komitmen, kendala lainnya dalam mensosialisasikan SDGs yaitu negara Indonesia yang terdiri atas pulau-pulau. Wilayah yang luas dan tersebar, kata dia, membuat biaya pun mahal. Selain itu, akses internet juga masih menjadi kendala.
“Baik untuk pemerintah pusat dan daerah kuncinya adalah pengumpulan data, kalau tidak paham, pemerintah daerah tidak tahu apa yang harus dikumpulkan datanya.” Sehingga, lanjut Nita, banyak yang sudah dilakukan tetapi tidak tercatat. Kecuali perusahaan-perusahaan besar yang sudah paham SDGs.
Perusahaan besar, terutama perusahaan multinasional umumnya sudah mewajibkan penerapan SDGs. “SDGs bukan sesuatu yang aneh lagi, itu suatu yang wajib.” Perusahaan multinasional, lanjutnya, sudah belajar terkait SDGs, namun perusahaan besar Indonesia yang sudah go public menurutnya belum tentu semua mengerti tentang SDGs.
Adapun perusahaan yang ingin melaksanakan SDGs tentunya harus memiliki modal yang besar sebagai investasi. Namun, investasi awal yang harus dilakukan perusahaan untuk paham terkait SDGs adalah investasi sumber daya manusia (SDM).
“Nomor satu memang investing in people. Nomor satu ke karyawan dulu. Jangan karyawan bawahan, pimpinan dulu nomor satu. Pimpinan dulu paham apa itu SDGs. Baru nanti ke level manajer, lalu ke anak buah lebih ke How to nya,” tuturnya.
Materi yang dipelajari, kata dia, tentu berbeda antara materi pimpinan dan anak buahnya. “Materinya beda. Kalau pimpinan itu lebih ke strategi bisnis. Bagaimana strategi bisnis mengarah pada sustainability,” tuturnya.
Sementara itu, untuk di Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN), menurut perempuan yang aktif di KADIN Indonesia itu, sudah mulai ada komitmen untuk SDGs. “Jadi sudah dilakukan sosialisasi SDGs kepada 140 BUMN.”
Kementerian BUMN, kata Nita, sudah membuat Grand Design CSR yang mengarah kepada SDGs, agar perusahaan-perusahaan BUMN dapat melakukan prioritas dalam pelaksanaan SDGs. Menurutnya, langkah Kementerian BUMN itu sudah tepat. Dimulai dengan sosialisasi atau edukasi, pelaksanaan SDGs, dan memberikan kesempatan untuk mentoring. “Itu penting,” kata perempuan yang menjadi konsultan di Kementerian BUMN dan beberapa BUMN itu.
Menurutnya, tidak perlu biaya besar untuk investasi ilmu untuk SDM, hanya tinggal mengubah arah untuk pemahaman SDGs terlebih dahulu. Setelah itu,lanjut Nita, baru investasi bisnis yang arahnya sudah ke SDGs. “Jika bisnis yang mengarah SDGs itu dirasa mahal. Pelan-pelan saja, mulai dari nol, mulai dari hal yang kecil dulu. Dan ingat semua itu harus dicatat.”
Pencatatan itu, kata Nita, untuk mengetahui perkembangan perusahaan dalam melaksanakan bisnis yang sesuai dengan SDGs. “Achievement (pencapaian) itu harus dicatat. Hanya dengan adanya data achievement itu yang bisa meyakinkan pemegang saham maupun direksi bahwa itu menguntungkan secara bisnis.”
Lulusan Doctor of Philosophy (Ph.D) Manajemen di University of Technology Sydney (UTS), Australia tahun 2010 itu menyayangkan masih banyak perusahaan yang sudah melakukan operasionalnya sesuai SDGs namun tidak dicatat. “Adapun jika dicatat hanya sekadarnya saja, hanya untuk ikuti Sustainability Report.”
Padahal, jika ada kontribusi ke SDGs dapat diukur. Dari pencatatan itu diketahui CSR mana yang fokus ke salah satu atau beberapa goals dari SDGs. “Karena perusahaan itu harus menentukan prioritas SDGs. Tapi yang prioritas itu harus yang berkaitan dengan dampak negatifnya. Misalnya terhadap lingkungan hidup, masyarakat.”
Nita mencontohkan, semisal perusahaan tambang maka yang harus diperhatikan di antaranya kegiatan-kegiatan CSR yang mengarah ke SDGs 8 Pekerjaan Layak dan Pertumbuhan Ekonomi atau SDGs 10 Mengurangi Ketimpangan. “Mereka harus peduli juga dengan lingkungan hidup seperti air kemudian kemiskinan masyarakat di sekitar area penambangan.”
Sementara untuk contoh PLN, harus dapat melaksanakan SDGs 7 Energi Bersih dan Terjangkau. “Bagaimana caranya PLN itu tidak menggunakan batubara lagi misalnya. Tapi memakai bahan bakar yang memang ramah lingkungan.”
BUMN, kata Nita, wajib berkontribusi pada SDGs. Semua bisnis prosesnya harus mengarah pada SDGs. “Misal bagaimana caranya bisnis bisa berkontribusi pada SDGs 13 Penanganan Perubahan Iklim. Bagaimana bisnisnya, bisa melakukan efisiensi Energi Bersih dan Terjangkau, SDGs 7. Bagaimana bisnisnya dapat mendukung Pendidikan Berkualitas, SDGs 4, Bagaimana bisnisnya bisa mengurangi atau menciptakan SDGs 5 Kesetaraan Gender, seperti itu.”
Menurutnya, pemimpin juga harus berani berinvestasi terkait dengan bisnis dan SDGs. Jangan sampai, ada keraguan investasi hanya dikarenakan masa jabatan. Banyak pemimpin yang tidak berani mengambil resiko untuk berinvestasi secara besar-besaran dikarenakan khawatir tidak memegang jabatan dengan posisi tinggi lagi nanti.
“Sebenarnya kendala itu dapat diatasi dengan sistem. Kalau sistemnya dibuat dengan benar-benar bagus, internal policy dibuat bagus, ada flats -nya untuk internal. Lalu pada saat nanti pergantian pejabat, ada proses untuk pembelajaran dulu,” ujarnya. Setelah diciptakan sistem, maka setelah itu dilengkapi dengan komitmen. “Ke depan apa yang dilakukan akan sustainable, dampaknya akan berkelanjutan.”
Dia pun kembali mengingatkan, sebelum menginvestasi bisnis, maka investasi sumber daya manusia (SDM) memang yang utama. “Jadi harus edukasi dulu. Edukasi itu sudah mutlak, absolut dan tak ada tawar menawar.”
Terkait dampak Pandemi Covid-19, Nita pesimistis pencapaian SDGs di tahun 2030 akan tercapai. Pandemi ini, kata dia, mengganggu pencapaian SDGs di seluruh dunia. “Di Indonesia, kita bisa lihat sendiri, nomor satu tidak ada kemiskinan aja tidak akan tercapai.”
BIODATA – MARIA ROSALINE NINDITA RADYATI. MALANG, 30 AGUSTUS 1967.
PENDIDIKAN: Doctor of Philosophy (Ph.D) in Management, University of Technology Sydney (UTS), Australia (2010). Executive Education Program at Massachusetts Institute of Technology (MIT) Sloan School of Management, Cambridge, Massachusetts, USA (2010), on “Innovative Dynamic Education and Action for Sustainability (IDEAS)”. Diploma of Management Consultancy (Dip.Cons) from Interlink Technology, Brisbane-Australia, (2014). Diploma of Project Management (Dip.PM) from Interlink Technology, BrisbaneAustralia, (2015). Certificate IV Integrated Risk Management (Cert.IV IRM) from Interlink Technology, Brisbane-Australia, (2015). Master Degree in International Finance from University of Indonesia (1996). Bachelor Degree in Management from Trisakti University, 1986-1990.
JABATAN: Executive Director of CECT-USAKTI Trisakti University (2002-present). Founding Director at Post Graduate Program with specialisation in Sustainability, previously CSR and Post Graduate Program with specialisation in Community Entrepreneurship (MM-CE) (2007-present). Committee Member for ESG Index : SRI KEHATI Index (2019 – present). International Advisory Committee of APCO Worldwide (2020 – present). Board of Supervisor at Australia Mining, Infrastructure and Energy Chamber Indonesia (Ausmincham) (2017 – present). Board of Advisor at Women in Mining Indonesia (WIME) (2019 – present). Chair of the Expert team for the Drafting of CSR Law for the House of Representative (DPR) in 2013 and 2016. (Ketua Team Ahli menyusun RUU CSR). Deputy Chairman of “CSR Committee” at the Indonesia Chamber of Commerce (KADIN Indonesia) (2013 – present). Board of Director at “International Society for Third Sector Research” (ISTR) at John Hopkins University, Maryland USA (January 2013 – present). Vice President of Learning at IGCN (Indonesia Global Compact Network) (2015 –present). Board of Expert member at “Kiroyan Partner” (2012 – present). Board of Director at MASKEEI (Masyarakat Efisiensi Energi untuk Konservasi Indonesia) (2014 – present).
PENGHARGAAN
1. “Top Academician” in 2012 by “Majalah Kampus Indonesia”
2. The “Pioneer of Social Enterprise Education in Indonesia” in 2014, awarded by the
British Council Indonesia.
Discussion about this post