JAKARTA, KabarSDGs — Satgas Penanganan Covid-19 menanggapi berbagai informasi yang ramai di media sosial tentang hasil rapid tes Covid-19 yang dipalsukan dan terdapat indikasi transaksi jual beli. Juru Bicara Satgas Penanganan Covid-19 Wiku Adisasmito menegaskan hal ini dapat berujung pada sanksi pidana.
Karena surat keterangan dokter yang menyatakan negatif Covid-19 adalah aturan dari prasyarat perjalanan. Yang bertujuan mencegah penularan Covid-19 di tengah-tengah masyarakat.
“Dari segi hukum pidana, tindakan menyediakan surat keterangan dokter palsu dapat dijatuhkan sanksi. Sanksi diatur dalam KUHP (Kitab Undang-Undang Hukum Pidana) pasal 267 ayat 1, pasal 268 ayat 1 dan 2, yaitu pidana penjara selama 4 tahun,” tegasnya dalam siaran pers yang diterima KabarSDGs, Jumat (1/1/2021).
Masyarakat diminta untuk menghindari melakukan praktek kecurangan tersebut. Bahkan bila ada masyarakat yang mengetahui hal tersebut terjadi, diminta segera melaporkan kepada pihak yang berwenang. Karena jika dibiarkan dapat berdampak pada penularan Covid-19 di tengah-tengah masyarakat tidak terkendali.
“Bahayanya lagi, dampak dari pemalsuan ini bisa menimbulkan korban jiwa. Apabila orang yang ternyata positif, namun menggunakan surat keterangan yang palsu dan akhirnya menulari mereka yang berada di kelompok masyarakat yang rentan. Karena itu, jangan pernah bermain-main dengan hal ini,” tegas Wiku.
Operasi Yustisi
Di sisi lain, pemerintah telah menerapkan operasi yustisi untuk menegakkan peraturan disiplin protokol kesehatan. Bagi masyarakat yang tidak patuh, akan dijatuhi sanksi. Hal ini mengacu pada Instruksi Presiden No. 6 Tahun 2020 tentang Peningkatan Disiplin dan Penegakan Hukum Protokol Kesehatan Dalam Pencegahan dan Pengendalian Corona Virus.
Dalam Inpres tersebut, jelas Wiku, pemerintah daerah dengan menjalankan prinsip desentralisasi mampu menjalankan tugasnya menyelenggarakan operasi yustisi dan operasionalnya dapat disesuaikan karakteristik daerah. Pemerintah pusat tetap memonitor pelaksanaan pengawasan kepatuhan protokol kesehatan khususnya di titik-titik rawan keramaian.
Seperti tempat ibadah, tempat olahraga publik, restoran atau kedai, warung, tempat wisata, pasar tradisional dan mall. Dalam mengawasi kepatuhan, pemerintah menggunakan sistem monitoring BLC. Sistem ini, dilaksanakan melalui pengawasan yang dilakukan para partisipan mulai anggota TNI/Polri/Satpol-PP, relawan dan petugas Satuan Tugas Covid-19 daerah.
Wiku menyebutkan, untuk titik pengawasan tersebar pada 512 kabupaten/kota. Dari jumlah itu, 20,6% yang patuh dalam memakai masker dan 16,9% yang patuh dalam menjaga jarak dan menjauhi kerumunan. Nyatanya, kepatuhan masyarakat yang rendah dalam memakai masker dan menjaga jarak menjadi kontributor dalam peningkatan penularan Covid-19.
“Tingkat kepatuhan ternyata membawa dampak pada kenaikan kasus Covid-19 beberapa waktu terakhir di Indonesia. Untuk itu, data tersebut dapat dijadikan refleksi dalam meningkatkan kepatuhan terhadap protokol kesehatan pada tahun 2021,” ujar dia.
Discussion about this post