PROBOLINGGO, KabarSDGs – Hari menunjukkan pukul 05.30 pagi ketika tiba di bawah kaki Penanjakan 1 Kawasan Taman Nasional Bromo Tengger Semeru. Gerimis masih membasahi bumi, kabut pun enggan beranjak, membuat tubuh masih merasakan dingin meski sudah dibalut jaket dan sarung tangan.
Penanjakan 1 atau view point 1 Gunung Bromo merupakan salah satu yang direkomendasikan para agent travel. Parkiran jeep tak jauh dari tempat Penanjakan. Tersedia warung, mushola, dan toilet. Nyaman, mungkin itu lah satu kata yang bakal terlontar bagi siapa pun yang sedang berkunjung ke sana.

Di tengah jalan juga disediakan tempat mencuci tangan. Ya, sejak dibuka kembali akhir Agustus 2020, tempat wisata Taman Nasional Bromo Tengger Semeru juga harus menerapkan protokol kesehatan. Baik kepada pengunjung, masyarakat, dan juga pedagang.
Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif /Kepala Badan Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Wishnutama Kusubandio pernah mengatakan, kunci keberhasilan pariwisata agar dapat segera rebound yaitu melalui pelaksanaan protokol kesehatan berbasis CHSE (Cleanliness, Health, Safety, Environment Sustainability) dengan baik dan disiplin di tiap destinasi tujuan dan pelaku sektor pariwisata.
Tanpa pelaksanaan protokol kesehatan dan disiplin tinggi, lanjut Wishnutama, maka tidak mudah bagi sektor pariwisata Indonesia untuk dapat bangkit kembali.

Di Penanjakan 1 sudah berkumpul para pengunjung yang ingin melihat matahari terbit (sunrise). Bromo memang terkenal dengan keindahan sunrisenya. Namun, cuaca saat itu kurang mendukung, kabut tebal masih menutupi pandangan menuju Gunung Bromo.
Alhasil obrolan dengan pedagang pun menjadi pilihan ketika berada di sana. Terdapat pedagang souvenir, pedagang budidaya bunga Eidelweiss, dan penyewa tikar untuk duduk-duduk menunggu sunrise.

Menggunakan sarung khas Suku Tengger dan masker. Para pedagang ini gencar menawarkan barang dagangannya. Armiwitjaya salah satunya. Perempuan berusia 30 tahun itu menawarkan souvenir berupa magnet kulkas berlukiskan Gunung Bromo dan gantungan kunci Eidelweis.
“Gantungan 5000 rupiah, magnet 20 ribu,” ujarnya menginformasikna harga.
Armi mengatakan, untuk mulai berjualan dirinya berangkat dari rumah Pukul 02.30 pagi. Biasanya, dia di Penanjakan hanya sampai Pukul 06.30 pagi. Usai pengunjung selesai menanti sunrise.
“Setelah itu saya pulang, masak, dan lanjut berkebun,” ujar dia.
Sebelum pandemi, usahanya adalah menyewakan jaket. Sewa satu jaket yaitu 20 ribu rupiah. Kini, penyewaan jaket sudah tidak boleh lagi, karena dikhawatirkan menjadi penghantar penularan Covid-19.
Sementara untuk tikar, katanya, disewakan 10 ribu rupiah. Saat ini masih diperbolehkan karena sekali pakai langsung dicuci.
Armi pun berharap, pengunjung akan kembali ramai di penghujung tahun ini. “Semoga makin ramai,” katanya.

Dikatakan Pemandu Lokal dari Perhimpunan Pramuwisata Indonesia Andi Wardoyo, dari sisi perekonomian, masyarakat Suku Tengger tak terlalu berpengaruh dengan adanya Pandemi. Meski Kawasan Bromo, Tengger, Semeru ditutup selama berbulan-bulan, mereka tidak mengandalkan penghasilan dari pariwisata. “Mata pencaharian utama mereka dari berladang,” katanya.
Kubis, daun bawang, dan kentang beberapa di antaranya. Hasil kebun mereka di jual hingga luar kota.
Selain para pedagang, pengendara jeep dan penyewa kuda juga melakukan hal yang sama. Menjadikan aktivitas pariwisata sebagai pendapatan tambahan bagi keluarga.
Sunrise Bukan Satu-satunya
Andi mengatakan, Penanjakan 1 bukan satu-satunya tempat untuk melihat keindahan matahari terbit di Bromo. Terdapat beberapa Sunrise Point yang bisa menjadi alternatif di antaranya Penanjakan 2, Bukit Kingkong, Bukit Cinta, dan Seruni Point.
“Tapi memang, Penanjakan 1 yang paling tinggi,” ujar dia.
Di saat musim hujan, kemungkinan melihat sunrise memang sangat kecil. Namun bukan berarti berwisata ke Gunung Bromo menjadi mengecewakan. Melihat sunrise bukan satu-satunya aktivitas yang bisa dilakukan di Gunung Bromo karena, terdapat spot-spot di Bromo lainnya yang bisa dijelajahi dan memberikan kenangan tersendiri.

Dari Penanjakan, area Kawah Bromo yaitu Gunung Bromo, Gunung Batok, dan Pura Luhur menjadi spot yang menarik dijelajahi. “Butuh waktu dua hingga tiga jam jika kita naik ke Gunung Bromo. Bagi yang tidak ingin naik, maka berfoto di depan Gunung Batok bisa menjadi pilihan,” kata Andi.
Sekitar 15-30 menit area ini menjadi pilihan untuk mengambil spot foto. Bahkan, ada juga yang menjadikan area ini sebagai tempat pengambilan foto prewedding.
Setelah Gunung Batok, Pasir Berbisik menjadi spot berikutnya yang dikunjungi. Sayang, musim hujan membuat pasir-pasir itu tidak memberikan suara “berbisik” karena tidak berterbangan diterpa angin. Latar Gunung Bromo dan berfoto di atas jeep bisa menjadi alternatif saat berada di sini. Selain itu, berfoto dengan menaiki kuda juga bisa menjadi pilihan. Hanya dengan membayar 10 ribu rupiah, foto bersama kuda pun bisa terealisasi.


Dari Pasir Berbisik, savana merupakan tujuan berikutnya. Sebelum sampai di sana, terdapat Bukit Teletubbies yang juga dapat dijadikan area spot foto. Di tempat ini, tersedia toilet, warung, serta penyewaan kuda dan penjual souvenir. Wisatawan pun tak perlu khawatir jika ingin buang air kecil meski di tengah savana dan gurun pasir.
Dari bukit Teletubbies, picnic breakfast bisa menjadi “puncak” nya. Tikar dibalut kain menjadi wadah bagi aneka kue dan roti dengan rasa hotel bintang 5. Penyajian makanan yang ditata cantik, membuat siapa pun enggan beranjak dari sana.

“Ada dua hotel yang siap menyiapkan breakfast di sini yaitu Hotel Jiwa Jawa dan Hotel Plataran Bromo,” kata Andi.
Ide picnic breakfast, kata Andi, merupakan salah satu upaya untuk mengurangi sampah di Gunung Bromo. “Biasanya orang-orang sarapan di sini menggunakan nasi kotak, kotak (dus) nya akan menjadi sampah yang banyak,” ujarnya.
Angin sepoi-sepoi menambah kenikmatan sarapan dengan pemandangan luar biasa dari savana. Keindahan alam Bromo seperti di dalam lukisan, membuat siapa pun yang berada di sana setidaknya akan berucap “maka nikmat Tuhanmu yang manakah yang kamu dustakan?” Tanpa sunrise, Gunung Bromo tetap punya cerita.

Discussion about this post