JAKARTA, KabarSDGs – Pemerintah berencana melakukan program percepatan transisi menuju pencapaian target 23 persen dalam penggunaan energi baru dan terbarukan (EBT) pada 2025. Direktur Aneka Energi Baru dan Energi Terbarukan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Harris Yahya mengatakan, karena alasan tersebut, pemerintah berfokus pada penerapan EBT yang lebih cepat untuk dibangun dengan biaya pembangkitan yang kompetitif.
“Hal ini juga dipicu oleh adanya penurunan permintaan listrik di perusahaan. Menurun sekitar minus 2,4 persen pada 2020,” kata Harris dalam Webinar bertajuk “Membangun Indonesia Lebih Hijau & Tangguh dalam Rangka Pemulihan COVID-19 dengan Pembangunan Rendah Karbon”, Senin (14/12).
Pemerintah, kata Harris, akan menjadikan EBT sebagai salah satu kegiatan dalam program pemulihan ekonomi nasional. “Percepatan pengembangan EBT tetap harus mempertimbangkan realitas kebutuhan energi dan kondisi perekonomian hari ini,” ujar Harris.
Harris menambahkan, ada beberapa strategi pecepatan EBT di Indonesia. “Pertama subtitusi energi primer. Kita galakan penggunaan B30 dan B50,” katanya.
Kedua, lanjut dia, konversi energi primer fosil menjadi energi terbarukan. Misalnya, Pembangkit Listrik Tenaga Diesel (PLTD) dan Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) Batubara digantikan dengan Pembangkit Listrik Tenaga (PLT) Energi Baru dan Terbarukan (EBT).
“Kita juga bisa menggunakan biogas dan pellet kayu untuk memasak, menggantikan gas elpiji,” kata Harris.
Terakhir, ada penambahan kapasitas EBT. Hal ini dilakukan unutk memenuhi permintaan EBT yang terus meningkat. “Pemerintah Indonesia memfokuskan penambahan kapasitas EBT ini ke pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) di Sumba, NTT,” ujar Harris.
Proyek PLTS ini ditargetkan akan menghasilkan daya sebesar 13,57 gigawatt. Selain itu, dibangun pula PLTS di beberapa wilayah di Indonesia lainnya, seperti Kalimantan Barat dan Bangka Belitung. P. NITYAKANTI
Discussion about this post