JAKARTA, KabarSDGs – Indonesian Technical Advisory Group of Immunization (ITAGI) Sri Rezeki S Hadinegoro meminta pemerintah untuk menjelaskan kepada masyarakat terkait produksi vaksin covid-19 yang dilakukan Indonesia yang dinilainya sungguh luar biasa dapat memangkas proses tahapan pembuatan vaksin sehingga sangat cepat.
“Pada situasi normal atau rutin biasanya pembuatan vaksin memakan waktu bertahun-tahun bahkan sampai 10 tahun. Namun, pada situasi pandemi saat ini, waktu yang lama itu bisa dipangkas. Mengingat wabah Covid-19 telah memakan jutaan korban jiwa,” kata Sri Rezeki, di Jakarta, Selasa (10/11/2020).
“Pada masa pandemi, pasti tujuannya berbeda, Tujuan untuk segera menurunkan angka kematian,” jelas Sri Rezeki dalam keterangan pers daring, Selasa (10/11/2020).
Sri Rezeki menjelaskan, proses pembuatan vaksin dapat dipercepat dengan bantuan teknologi. Bio Farma misalnya yang saat ini menggunakan platform dari Sinovac.
“Platform ini (dari Sinovac) Bio Farma sebelumnya telah memilikinya sehingga tidak terlalu sulit untuk membuat vaksin baru. Jadi teknologi yang sudah ada sudah dipakai untuk vaksin-vaksin lain,” jelasnya.
Karena hal itu sejumlah proses dapat dipersingkat, seperti fase satu dan dua sehingga bisa langsung masuk pada fase tiga yaitu pemantauan uji coba vaksin.
“Bio Farma sudah memiliki platformnya tidak perlu lagi penelitian yang panjang,” ujar Sri Rezeki.
Rakyat Kurang Teredukasi
Selain itu, Sri Rezeki juga menyitir hasil survei Lembaga Poluli Center (LPC) yang menyebut 40 persen publik menolak vaksin Covid-19. Menurutnya, penolakan tersebut terjadi karena masyarakat masih kurang teredukasi.
“Menurut saya mereka yang masih ragu atau menolak karena belum mengerti dengan baik (tentang vaksin). Saya mempelajari vaksin saja 20 tahun lebih apalagi masyarakat awam,” kata Sri Rezeki.
Ketidakpahaman itu kata dia, membuat masyarakat takut, dan menganggap vaksin Covid-19 memiliki efek samping yang membahayakan kesehatan. Apalagi situasi ini diperburuk dengan banyaknya informasi palsu yang beredar di media sosial.
Karena itu, untuk menyelesaikan persoalan itu, pemerintah atau lembaga kesehatan tidak bisa berjalan sendiri. Dibutuhkan peran media serta tokoh masyarakat, memberikan informasi benar dan mudah dipahami.
“Tokoh masyarakat harus ikut terlibat memberikan penjelasan. Karena kita tahu sendiri orang Indonesia malas baca, sering mendengar informasi yang sumbernya tidak jelas,” kata Sri Rezeki.
Senin (9/11) Populi Center mengeluarkan hasil surveinya, dari 1000 responden di 34 provinsi, ditemukan 40% mengaku menolak divaksin Covid-19. Alasan penolakannya beragam, 46,5 persen mengaku takut akan bahaya dari vaksin Covid-19, sementara 15,2 persen tidak percaya vaksin bisa menyembuhkan, sedangkan 13,3 persen berasalan meragukan kehalalannya. YAUMAL HUTASUHUT
Discussion about this post