JAKARTA, KabarSDGs — Ketua Lembaga Perlindungan Anak Indonesia (LPAI) Seto Mulyadi mengatakan iklan, promosi dan sponsor (IPS) rokok sangat rentan mempengaruhi anak-anak untuk menjadi seorang perokok aktif.
“Iklan rokok yang gencar menonjolkan tema kreatif, gaul, keren, modern, dan hebat menjadi faktor utama yang mempengaruhi anak untuk mencoba merokok dan mendorongnya terus menghisapnya,” ujar Kak Seto, sapaan akrab Seto Mulyadi, di Jakarta, Kamis (5//11/2020).
Menurut dia, anak-anak sudah menjadi korban dari eksploitasi industri rokok yang terus aktif menyasar anak sebagai basis konsumen jangka panjang, karena dengan semakin dini usia merokok akan makin besar juga keuntungan bagi perusahaan rokok.
Hal ini juga dipertegas dengan survei yang dilakukan LPAI pada 2019 terkait perilaku anak merokok, hasilnya sebanyak 73% anak merokok diawali dengan melihat iklan, promosi dan sponsor rokok di sekitar lingkungannya.
“Merujuk teori pembelajaran sosial, manusia termasuk anak-anak biasanya belajar melalui pengamatan perilaku dari manusia lain. Itu sebabnya anak-anak yang berada di lingkungan yang dipenuhi perokok akan melihat hal itu lalu menirunya,” jelas Kak Seto.
Sementara itu, Ketua Lentera Anak Lisda Sundari mengatakan, pelarangan iklan rokok harus segera dilakukan dengan mendesak pemerintah segera merevisi Peraturan Pemerintah Nomor 109 tahun 2012 tentang Pengamanan Bahan yang Mengandung Zat Adiktif Berupa Produk Tembakau bagi Kesehatan, guna melindungi anak-anak Indonesia dari bahaya rokok.
“Sangat mustahil untuk menurunkan prevalensi perokok anak bila tidak ada komitmen pemerintah untuk membuat regulasi tembakau yang kuat dan tegas,” jelasnya.
Ketua Yayasan Balarenik Agusman KS memaparkan fakta tentang kondisi darurat perokok anak, berdasarkan rehabilitasi yang dilakukan lembaganya.
“Kondisinya memang sangat mengkhawatirkan, karena perlu penanganan yang semaksimal mungkin kepada anak-anak yang sudah kecanduan merokok agar mereka dapat lepas dari adiksi rokok,” ujarnya.
Yayasan Balarenik telah melakukan rehabilitasi sosial anak korban penyalahgunaan NAPZA sejak 2016. Sampai saat ini sudah lebih dari 600 anak mendapatkan pertolongan. Mirisnya, hampir semuanya dari keluarga dhuafa dan lebih dari 90% dari mereka dulunya perokok aktif
Untuk itu, Agusman menegaskan lebih baik melakukan pencegahan sejak dini, memastikan anak tidak merokok.
“Karena itu, memang sangat dibutuhkan peraturan yang kuat yang melarang iklan rokok dan penjualan rokok batangan untuk melindungi anak dari mudahnya mengakses rokok,” tegas Agusman.
Discussion about this post