JAKARTA, KabarSDGs – Dian resah, suaminya Panca, sempat berjanji beberapa tahun lalu, jika harga rokok yang dia konsumsi naik hingga Rp 20 ribu, maka Panca akan berhenti merokok. Nyatanya, rokok yang dikonsumsi suaminya saat ini harganya nyaris menginjak Rp 30 ribu, tetapi sang suami tak ada tanda-tanda untuk menghentikan kebiasaan merokoknya.
“Mungkin karena seiring dengan kenaikan harga rokok, pendapatan suami juga bertambah. Sehingga dia masih merasa mampu membeli,” kata Ibu yang sedang mengandung anak kedua ini.
Dian pun berharap, pemerintah mau menaikkan harga rokok secara signifikan. Hal itu dilakukan agar daya beli masyarakat terhadap rokok menjadi terbatas. Angka Rp 70 ribu, dianggapnya sesuai untuk sebungkus rokok. “Kalau harga sulit dinaikkan, setidaknya batasi akses membeli rokok seperti halnya akses membeli minuman beralkohol,” harapnya kepada pemerintah.

Center for Indonesia’s Strategic Development Initiatives (CISDI) telah melakukan riset dan simulasi tarif cukai pada akhir tahun lalu dan awal tahun ini. CISDI memang selama ini di bawah Infection Prevention Control Nurse (IPCN) dan organisasi-organisasi yang fokus pada pengurangan tembakau.
“Hasilnya, orang baru akan berhenti merokok jika harga rokok mencapai Rp 70 ribu,” kata Communication and Advocacy Coordinator for Tobacco Control Advocacy Iman M Zein saat melakukan media visit ke KabarSDGs, belum lama ini. Harga itu diperoleh dari hasil survei yang dilakukan Pusat Kajian Jaminan Sosial (PKJS) Universitas Indonesia (UI) pada 2018.
Dari hasil riset, tambah Iman, dampak merokok juga berkaitan erat dengan terjadinya stunting pada anak. Stunting merupakan kondisi gagal pertumbuhan pada anak (pertumbuhan tubuh dan otak) akibat kekurangan gizi dalam waktu lama.
Namun, Iman mengatakan, harga Rp 70 ribu sepertinya akan sulit diterapkan di Indonesia. Keengganan Kementerian Keuangan untuk mengambil kebijakan cukai yang efektif kebanyakan dikarenakan kekhawatiran akan rokok ilegal dan dampaknya terhadap industri kecil serta pekerja dan petani yang bergantung pada industri tembakau. “Oleh karena itu, yang kita lakukan dalam beberapa bulan ke depan adalah menggali dukungan kampanye dari publik terkait tarif cukai tembakau.”
Sudah beberapa tahun ini, lanjut dia, tarif cukai tembakau akan keluar di sekitar September atau Oktober melalui Peraturan Menteri Keuangan. “Nah, ini salah satu bentuk kampanye kita, yaitu Festival Pemilu Harga dan nanti bakal banyak lagi acaranya untuk mendukung kampanye itu.”
Melalui Festival Pemilu Harga, CISDI mengajak peran serta masyarakat untuk mengendalikan tembakau. Sebuah website pulihkembali.org dibuat yang berisi semacam beranda pustaka kampanye-kampanye yang terkait tarif cukai tembakau.
“Oktober, bakal ada Pemilu Harga, jadi orang bisa vote apakah dia mendukung Ibu Sri Mulyani untuk menaikkan tarif cukai tembakau atau tidak, dan alasannya kenapa, serta dampaknya apa buat dia.”
Pemilu ini, kata Iman, bisa diikuti oleh publik dan sudah berlangsung dari Agustus. Oktober direncanakan terdapat hasil Pemilu yang akan diumumkan secara live virtual. “Bukan semacam alternatif, tapi sebagai perbandingan keputusan Ibu Sri Mulyani apakah sudah menjawab keinginan publik, kurang lebih seperti itu.”
Iman menuturkan, dampak cukai rokok yang murah sudah lama menjadi sumber dari berbagai masalah di Indonesia, baik dalam bidang kesehatan, sosial, hingga ekonomi. Masih terjangkaunya harga rokok menghambat beberapa target pembangunan, seperti upaya penanggulangan kemiskinan, penurunan stunting, hingga beban berat biaya BPJS Kesehatan. Tentunya hal itu pula yang menghambat tercapainya Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (Sustainable Development Goals/SDGs) di Tanah Air.

Gelar Simposium
Sementara itu, Bersama Komnas Pengendalian Tembakau, PKJS UI, dan Yayasan Lentera Anak Indonesia, CISDI meluncurkan “Simposium Menuju Pemilu Harga: Hadiah untuk Indonesia” pada Selasa (29/9). Sejumlah pembicara dari berbagai latar belakang dihadirkan, seperti petani, aktivis muda, ibu rumah tangga, dokter muda, hingga penanggap dari beberapa kementerian.
Penanggap itu yakni Direktur Promosi Kesehatan dan Pemberdayaan Masyarakat, Kementerian Kesehatan dr. Rizkiyana Sukandhi Putra, M.Kes; Direktur Tanaman Semusim & Rempah, Kementerian Pertanian Hendratmojo Bagus Hudoro; Kepala Subbidang Penyakit Tidak Menular, Kemenko Pemberdayaan Masyarakat dan Kebudayaan Ari Wulan Sari; Direktur Kesehatan dan Gizi Masyarakat, Kementerian PPN Bappenas Pungkas Bahjuri Ali, S.TP, MS, Ph.D; dan Kabid Insentif dan Analisis Kebijakan Fiskal, Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian Desi Zulfiani.
Selain itu, terdapat juga Asisten Deputi Bidang Tumbuh Kembang Anak Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Hendra Jamals; Analis Kebijakan Ahli Muda, BKF, Kementerian Keuangan Sarno, SST., M.Sc., M.Buss, Ak. CA; serta Pemeriksa Bea & Cukai Madya/Ahli Madya DTFC, Kementerian Keuangan Hary Kustowo.
CISDI percaya bahwa kenaikan cukai tembakau sebagai instrumen yang paling efektif untuk melakukan prevalensi perokok pemula. Diketahui, jumlah perokok pemula tergolong banyak. “Bahkan prevalensi konsumsi tembakau pada usia 10 sampai 18 tahun tahun 2018 sebanyak 9,1 persen naik dari tahun 2013 yang sebanyak 7,2 persen,” ujar Asisten Deputi Bidang Tumbuh Kembang Anak Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Hendra Jamals.
Dalam simposium ini masyarakat diajak untuk memberikan dukungan melalui pulihkembali.org dan meyakinkan pemerintah bahwa menaikkan cukai produk tembakau adalah pilihan mutlak bagi Indonesia, terutama di masa sulit menuju resesi saat ini. Pengumpulan dukungan masyarakat lewat laman tersebut dibuka hingga akhir Oktober. (PULINA NITYAKANTI PRAMESI)
Discussion about this post